Sebuah peristiwa bisa kita anggap penting jika dirasakan dekat dan melekat secara emosional psikologis hingga mendapat kesan tersendiri. Luapan emosi setiap orang akan beragam dalam bentuk dan caranya. Bentuk ekspresif dan cara-cara demonstratif seringkali menarik perhatian publik, bahkan media pun ikutserta membingkai dan membentuk issu hingga menjadi agenda publik. Sebutlah misalnya, peristiwa penyanderaan 10 WNI oleh kelompok ekstrimis Abu Sayyaf hingga berakhir bebas dan selamat berkat campur tangan langsung negara dan keterlibatan pihak lain dalam negeri yang begitu antusias bernegosiasi demi satu misi ; Para Sandera BEBAS. Perdebatan pun menyeruak ke ranah yang lebih luas  menjadi santapan publik tentang teka teki uang tebusan dan klaim-klaim pihak informal yang berperan dan berjasa membebaskan 10 WNI yang disandera itu.
Dan peristiwa lain yang tak kalah penting, selalu hangat menjadi perbincangan publik adalah perhelatan Munaslub Partai Golkar pada 15 Mei mendatang. Musyawarah nya belum digelar, tapi asmosfir politiknya begitu menggema dan menggelegar. Para pengelola Negara, pun terlebih media massa begitu intensif menyoroti dan membidik perkembangan issu seputar besaran uang mahar alias sumbangan dana gotong royong senilai Rp 1 Milyar yang dibebankan kepada para calon ketua umum untuk bisa melenggang bertarung di arena Munaslub 15 Mei mendatang. http://nasional.kompas.com/read/2016/05/06/20340311/Wajibkan.Bayar.Rp.1.Miliar.Golkar.Dinilai.Hanya.Tampung.Kader.Kaya
Pelajaran yang dipetik.
Atas dua peristiwa penting tersebut, Â bagi sebagian orang, ini adalah fenomena yang sangat menarik dan penting untuk dijadikan kajian etnografi dan fenomenologi yang akan mengisi lembaran bermutu bagi perkembangan ilmu dan pengetahuan serta pengkayaan sejarah bangsa, didalamnya tentu memuat literasi budaya, resonansi sosial dan humaniora, kajian politik diplomasi, budaya politik, relasi kuasa, manageman konflik, hingga bagaimana cara kita mengkontruksi tentang pentingnya sketsa komunikasi antar budaya. Dan inilah pelajaran yang bisa kita petik.
Pasca Munaslub, Golkar Quo Vadis ?
Fungsi partai politik, sebagaimana yang digariskan para ahli teori klasik dan amanat undang-undang adalah pertama, memompa gairah publik tentang pentingnya partisipasi politik, kedua, kontinyuitas rekruitmen aktor politik untuk digodok dan dipersiapkan dalam seleksi kepemimpinan politik dimana kelak kader-kader terbaiknya di pertandingkan baik dilevel nasional maupun lokal, ketiga, melakukan pemberdayaan dan pendidikan politik secara terpadu bagi rakyat sebagai subjek yang berdaulat, keempat, menempatkan institusi politik sebagai artikulatorkepentingan  publik dan kelima, sebagai perekat atau  agregasi kepentingan politik.
Golkar, sebagai partai politik modern mewariskan banyak hal. Keberhasilan partai beringin ini terlihat dari produktifitas institusi dan para aktor politiknya dalam menjamah aneka kebutuhan publik pada berbagai level dan dimensi. Kegagalan ini pun dipahami sebagai bagian dari episode sejarah yang sulit dilupakan. Hampir dua tahun Golkar dilanda konflik. Kegagalan fatal itu terkait perseteruan antar faksi yang kemudian mengerucut menjadi dua kubu, antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Egoisme primitif kedua tokoh nasional ini mengalami polarisasi yang hebat. Dampak dualisme elit ini adalah terputusnya mata rantai kepemimpinan didaerah dalam memutus perkara politik pilkada.
Pengurasan energy, waktu, pikiran dan finansial yang tidak sedikit adalah ongkos social yang sulit terbayarkan sebagai akibat konflik elit. Puncaknya adalah kekalahan secara massif menimpa kader-kader golkar di beberapa daerah pada momentum pilkada serentak 2015 yang lalu, tentu ini salah satu cermin kegagalan absolut dan sejarah kelam partai Golkar dalam rangka mengambil kendali atas bandul kekuasaan di level domestik. Maka jalan islah bernama Munaslub adalah jalan terakhir untuk mencairkan kebekuan politik dua kubu yang berseteru. Adakah kejutan di perhelatan Munaslub nanti ? inilah yang sedang kita tunggu.
Suatu peristiwa, sebutlah Munaslub kita kategorikan luar biasa berarti ada masalah fundamental didalamnya, diperlukan jalan penyelesaiannya bersifat luar biasa dengan takaran yang mendasar, dan membumi, juga tentunya ditangani oleh orang-orang luar biasa, proses penyelenggaraan dan output politik nya pun harus luar biasa. Selebihnya, dalam wilayah pragmatisme politik dapat dituangkan dalam bentuk teknis operasional yang melibatkan dua kubu yang bertikai. Â
Dalam persepsi publik misalnya, Munaslub partai Golkar sebagaimana yang dialami oleh banyak partai politik, disinyalir bahwa agenda politik Golkar belum mampu hijrah dari tradisi politik konvensional dan prosedural, setidaknya dilatari oleh 3 hal ; pertama, estafet kepemimpinan politik dilingkaran elit terkait kekuasaan transisi Aburizal Bakrie relatif mudah diprediksi bahwa ketua umum yang baru adalah harus menjadi bagian penting dari sekutu politik dan poros utama pemerintah, kedua, perubahan ‘aturan main’ organisasi sulit untuk dikatakan utuh dan menguntungkan banyak piha ketika diakomodasi ke dalam AD/ART, ia akan menuai polemik, meninggalkan jejak ketegangan baru, dan konflikpun beranak pinak secara telanjang dan berkepanjangan, dan ketiga, rekomendasi politik akan terlihat bias dan ambigu karena posisi Golkar yang unpowerfull.
Golkar selama kurun waktu yang sangat panjang sudah terlatih dan teruji menjadi dirigen kekuasaan, selalu leading dalam mengendalikan ritme kekuasaan. Artinya, dalam sejarah peta politik nasional, Golkar tidak memiliki tradisi untuk menempatkan posisi institusi dan aktornya nya sebagai oposisi dan vis a vis dengan pemerintah. Maka ketika 3 hal ini masih melekat dalam suasana Munaslub, itu artinya Golkar miskin kreasi dan kejutan politik adalah jauh panggang dari api. Â Publik menaruh banyak harapan ketika hasrat dan cita-cita politiknya digantungkan kepada Golkar sebagai partai politik modern dan pernah jaya dimasanya, Quo Vadis Golkar ?.
Abu Sayyaf dan 10 Sandera diundang ke Munaslub.
Ini sekedar usul saja. Bukan sensasi. Tidak bermaksud menggurui, apalagi mengkuliahi.
Diawal tulisan, sudah sedikit saya singgung dan gambarkan, bahwa salahsatu peristiwa penting di negeri ini adalah perhelatan Munaslub Golkar. Suka atau tidak suka, publik mengakui bahwa ia eksis mewarnai dan mengisi lembaran sejarah politik negeri ini, dengan segala kontribusinya, baik kurang dan lebihnya.
Jika musyawarah nasional luar biasa hanya berfokus pada agenda pengawalan paket tentang : pemilihan ketua umum, perubahan AD/ART dan rekomendasi politik, rasa-rasanya itu bukan munaslub tapi musyawarah nasional biasa-biasa saja, terlalu kecil dan takarannya tidak mendasar.
Jika kita menakar konstruksi berfikir para aktor politik Indonesia, secara umum, dalam banyak momentum pada perkembangan realitasnya seringkali menggunakan logika terbalik. Dalam konteks munaslub misalnya, Golkar sebagai partai politik modern yang memiliki pengalaman panjang dalam berkuasa, saya usul ;
Pertama, sajian pemberitaan yang meluas oleh media massa tentang sepak terjang kelompok ekstrimis Abu Sayyaf sudah menjadi pengetahuan publik, dan ini catatan sejarah bagi republik ini, ketika Negara bersama pihak-pihak informal berhasil memulangkan 10 sandera dengan selamat, meskipun meninggalkan jejak dan catatan kontroversi. Kita belum tahu persis catatan sejarah yang sesungguhnya tentang modus operandi kejahatan kelompok ekstrimis Abu Sayyaf, dimana sebagian besar publik terlanjur memberikan stempel dan stigma negatif pada kelompok ini. Di negri ini, belum ada satupun partai politik secara resmi dan terbuka menisbahkan bahwa Abu Sayyaf adalah kelompok teroris yang ditengarai setia berafiliasi kepada ISIS. Disinilah Golkar, sebagai partai politik perlu diuji kembali derajat kejayaannya untuk membuka ruang kesadaran melalui Munaslub nya, bagaimana kelompok ekstrimis Abu Sayyaf ditempatkan sebagai kumpulan manusia yang beradab dan berbudaya, yang diindentifikasi bahwa mereka memiliki banyak kesamaan dari berbagai aspek dan dimensi.
Tentu para aktor politik di tubuh Golkar memiliki cara pandang dan strategi kebudayaan, bagaimana membangun dialog cerdas dengan spirit kebangsaan. Dialog cerdas yang saya maksud adalah perlunya kerendahan dan kebeningan hati dari para aktor politik Golkar dalam mempersuasi kelompok ekstrimis Abu Sayyaf. Penyelenggaraan munaslub, hakikatnya bukan milik sepenuhnya partai politik Golkar, tapi hajat ini menjadi milik keseluruhan masyarakat Indonesia. Artinya, ada kesediaan dari elit Golkar melalui panitia munaslub untuk mengundang dan memberikan panggung politik kepada kelompok Abu Sayyaf. Perhelatan munaslub akan memberi warna baru yang esensial bagi khasanah pengetahuan politik nasional, bukan semata-mata ajang sensasional. Even semacam ini tentu barang langka, terkesan anomalistik dan sarat dengan sensasi. Kehadiran kelompok Abu Sayyaf sudah barang tentu akan menyita perhatian dan energi banyak pihak, karena bobot resintensi yang melekat pada mereka. Sekali lagi, disinilah Golkar diuji tentang spirit kebangsaannya.
Kedua, keberadaan 10 sandera perlu juga dibidik untuk diundang dan dihadirkan mengisi arena munaslub. Berikanlah panggung kepada mereka untuk menyampaikan apa yang dialaminya selama berada dalam penyanderaan. Ini penting karena sesama anak negeri, mereka perlu mendapat apresiasi secara terbuka, dalam konteks ini partai politik bernama Golkar mengambil langkah inisiasi politik dengan segala resiko yang didapat.
Ketiga, tokoh penting dibalik peristiwa pembebasan 10 WNI sebagaimana yang diberitakan media massa, sebutlah misalnya, Surya Paloh dan Kivlan Zein perlu juga untuk diundang hadir mengisi barisan kursi depan, untuk menjadi bagian penting dan tak terpisahkan dari perhelatan munaslub partai Golkar. Sekat politik perlu dihindari karena beda haluan politik menjadi tidak penting dan relevan dalam bingkai keberagaman dan spirit kebangsaan.
Anda bayangkan, ketika kelompok ekstrimis Abu Sayyaf dan 10 WNI yang pernah mereka sandera tiba-tiba muncul satu panggung saling berpelukan, dikawal oleh Surya Paloh dan Kivlan Zein. Mereka saling menyapa, berbicara lepas tanpa tekanan moncong senjata…tertawa berjamaah dengan kekakuannya masing-masing,…..
Sebuah adegan yang bersejarah,….tontonan etnografi yang unik, dan tembakan fotografi yang menantang,…..
Jika kita tidak merinding menyaksikannya, itu berarti kita gagal sebagai manusia Indonesia yang humanis dan beradab,….
Ah…..namanya juga usul
Salam kompasiana, Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H