Mohon tunggu...
Cecep Zafar Sofyan
Cecep Zafar Sofyan Mohon Tunggu... wiraswasta -

hidup adalah kematian yg menyamar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Abu Sayyaf & 10 Sandera Diundang ke Munaslub Golkar?

7 Mei 2016   12:36 Diperbarui: 7 Mei 2016   13:03 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebuah peristiwa bisa kita anggap penting jika dirasakan dekat dan melekat secara emosional psikologis hingga mendapat kesan tersendiri. Luapan emosi setiap orang akan beragam dalam bentuk dan caranya. Bentuk ekspresif dan cara-cara demonstratif seringkali menarik perhatian publik, bahkan media pun ikutserta membingkai dan membentuk issu hingga menjadi agenda publik. Sebutlah misalnya, peristiwa penyanderaan 10 WNI oleh kelompok ekstrimis Abu Sayyaf hingga berakhir bebas dan selamat berkat campur tangan langsung negara dan keterlibatan pihak lain dalam negeri yang begitu antusias bernegosiasi demi satu misi ; Para Sandera BEBAS. Perdebatan pun menyeruak ke ranah yang lebih luas  menjadi santapan publik tentang teka teki uang tebusan dan klaim-klaim pihak informal yang berperan dan berjasa membebaskan 10 WNI yang disandera itu.

http://nasional.kompas.com/read/2016/05/02/06362411/Negosiator.Sebut.Pembebasan.10.WNI.Tanpa.Uang.Tebusan.Ini.Ceritanya.

http://nasional.kompas.com/read/2016/05/03/13300031/Kivlan.Zen.Uang.Tebusan.10.ABK.Sudah.Disiapkan.tapi.Tak.Diserahkan?utm_source=news&utm_medium=bp-kompas&utm_campaign=related&

http://nasional.kompas.com/read/2016/05/02/11571531/.Jangan.Ada.yang.Cari.Panggung.Klaim.Sepihak.Bebaskan.10.WNI.?utm_source=news&utm_medium=bp&utm_campaign=related&

Dan peristiwa lain yang tak kalah penting, selalu hangat menjadi perbincangan publik adalah perhelatan Munaslub Partai Golkar pada 15 Mei mendatang. Musyawarah nya belum digelar, tapi asmosfir politiknya begitu menggema dan menggelegar. Para pengelola Negara, pun terlebih media massa begitu intensif menyoroti dan membidik perkembangan issu seputar besaran uang mahar alias sumbangan dana gotong royong senilai Rp 1 Milyar yang dibebankan kepada para calon ketua umum untuk bisa melenggang bertarung di arena Munaslub 15 Mei mendatang. http://nasional.kompas.com/read/2016/05/06/20340311/Wajibkan.Bayar.Rp.1.Miliar.Golkar.Dinilai.Hanya.Tampung.Kader.Kaya

Pelajaran yang dipetik.

Atas dua peristiwa penting tersebut,  bagi sebagian orang, ini adalah fenomena yang sangat menarik dan penting untuk dijadikan kajian etnografi dan fenomenologi yang akan mengisi lembaran bermutu bagi perkembangan ilmu dan pengetahuan serta pengkayaan sejarah bangsa, didalamnya tentu memuat literasi budaya, resonansi sosial dan humaniora, kajian politik diplomasi, budaya politik, relasi kuasa, manageman konflik, hingga bagaimana cara kita mengkontruksi tentang pentingnya sketsa komunikasi antar budaya. Dan inilah pelajaran yang bisa kita petik.

Pasca Munaslub, Golkar Quo Vadis ?

Fungsi partai politik, sebagaimana yang digariskan para ahli teori klasik dan amanat undang-undang adalah pertama, memompa gairah publik tentang pentingnya partisipasi politik, kedua, kontinyuitas rekruitmen aktor politik untuk digodok dan dipersiapkan dalam seleksi kepemimpinan politik dimana kelak kader-kader terbaiknya di pertandingkan baik dilevel nasional maupun lokal, ketiga, melakukan pemberdayaan dan pendidikan politik secara terpadu bagi rakyat sebagai subjek yang berdaulat, keempat, menempatkan institusi politik sebagai artikulatorkepentingan  publik dan kelima, sebagai perekat atau  agregasi kepentingan politik.

Golkar, sebagai partai politik modern mewariskan banyak hal. Keberhasilan partai beringin ini terlihat dari produktifitas institusi dan para aktor politiknya dalam menjamah aneka kebutuhan publik pada berbagai level dan dimensi. Kegagalan ini pun dipahami sebagai bagian dari episode sejarah yang sulit dilupakan. Hampir dua tahun Golkar dilanda konflik. Kegagalan fatal itu terkait perseteruan antar faksi yang kemudian mengerucut menjadi dua kubu, antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Egoisme primitif kedua tokoh nasional ini mengalami polarisasi yang hebat. Dampak dualisme elit ini adalah terputusnya mata rantai kepemimpinan didaerah dalam memutus perkara politik pilkada.

Pengurasan energy, waktu, pikiran dan finansial yang tidak sedikit adalah ongkos social yang sulit terbayarkan sebagai akibat konflik elit. Puncaknya adalah kekalahan secara massif menimpa kader-kader golkar di beberapa daerah pada momentum pilkada serentak 2015 yang lalu, tentu ini salah satu cermin kegagalan absolut dan sejarah kelam partai Golkar dalam rangka mengambil kendali atas bandul kekuasaan di level domestik. Maka jalan islah bernama Munaslub adalah jalan terakhir untuk mencairkan kebekuan politik dua kubu yang berseteru. Adakah kejutan di perhelatan Munaslub nanti ? inilah yang sedang kita tunggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun