Mohon tunggu...
Cecep Zafar Sofyan
Cecep Zafar Sofyan Mohon Tunggu... wiraswasta -

hidup adalah kematian yg menyamar

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Membangun Penyiaran Demokratis *)

25 Maret 2015   10:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:04 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Spirit anatomi dan substansi Undang - Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengisaratkan dua hal penting dan mendasar, yaitu keberadaan lembaga penyiaran publik dan lembaga penyiaran komunitas benar-benar dijamin eksistensinya. Dalam isarat yang sama, lembaga penyiaran swasta dibatasi. Namun dalam implementasinya, secara realitas isarat itu menunjukkan secara nyata sebuah anomali, inkonsistensi dan standar ganda. Kementrian komunikasi dan informasi/kemenkominfo, sebagai leading sector dan landscape penyiaran Indonesia nampak begitu lemah tak berdaya, bahkan menimbulkan kesan kuat telah dikooptasi oleh kekuatan kapital. Maka akibatnya, bukannya sistem penyiaran demokratis yang muncul, tapi justru konsentrasi lembaga penyiaran berada ditangan segelintir orang. Dan parahnya lagi, kuatnya dominasi tv Jakarta sebagai akibat tidak ditegakkannya sistem siaran berjaringan sesuai amanah dan spirit undang-undang tersebut. Ketidakberimbangan kompetisi dan sumberdaya ini kemudian membuat tv lokal dalam situasi yang sangat sulit, suara ditingkat lokal tidak terepresentasi dengan baik dan optimal.

Kansolidasi semakin kuat
Konsolidasi bisnis penyiaran di Indonesia telah berkembang luas dan mengarah pada keserakahan dan pemupukan capital tanpa mempertimbangkan rasa keadilan dan kepentingan public/masyarakat luas, yang berimplikasi pada konsentrasi kepemilikan media penyiaran oleh segelintir orang/badan hokum. Saat ini hanya ada 12 kanal media di Indonesia (Nugroho,2012) yaitu MNC Group, Kelompok Kompas Gramedia, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia, Group Jawa Pos, Mahaka Media, CT Group, BeritaSatu Media Holdings, Group Media, MRA Media, Femina Group dan Tempo Inti Media.

Pola kepemilikan yang menonjol di lembaga media penyiaran khususnya ‘nasional berjaringan’ yaitu pertama, pola kepemilikan langsung yang diperoleh seseorang atau badan hokum atas badan hukum yang lain melalui mekanisme pembelian saham baik melalui pasar saham (bursa efek) ataupun tidak. Besaran saham akan berkorelasi dengan besarnya kendali atau control individu terhadap badan hukum lainnya. Kepemilikan langsung yang tidak melalui bursa saham dilakukan dengan mendirikan atau membeli televisi lokal independen secara langsung. Kepemilikan seperti ini tidak jelas pola kepemilikannya. Kedua, pola kepemilikan tidak langsung, yaitu jika suatu holding company membeli saham suatu perusahaan yang berada dibawah anak perusahaannya. Dalam kasus ini, banyak badan usaha penyiaran yang berdiri sebagai anak perusahaan karena adanya ‘hak istimewa’. Berdasarkan PP No 50 tahun 2005, tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, lembaga penyiaran komersial yang telah mengoperasikan sampai dengan jumlah stasiun relay yang dimilikinya sebelum ditetapkan PP tersebut, padahal di undang undang penyiaran pasal 18 ayat 1 disebutkan bahwa kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik satu wilayah siaran maupun dibeberapa wilayah siaran, dibatasi. Dan dipertegas pula dengan pasal 34 ayat 4 yaitu izin penyelenggaraan penyiaraan dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain. Juga ini diperkuat oleh keputusan MK no 78/PUU-IX/2011 sudah sangat jelas bahwa kepemilikan lembaga penyiaran dibatasi sebagaimana termaktub dalam PP No 50 tahun 2005.

Ketika barang publik bernama frekuensi dikuasai oleh segelintir pengusaha besar yang memiliki akses ekonomi dan politik, maka Negara dan masyarakat menjadi lemah. Kepemilikan media siaran Indonesia hingga akhir tahun 2003 misalnya, sudah mengarah ke bentuk oligopolies, yang dalam praktek sistem demokrasi ini adalah praktek yang jahat atau tercela. Kebijakan dan pengaturan yang perlu dilakukan adalah pertama, klausul yang mengatur kepemilikan televisi ‘nasional berjaringan’ perlu secara eksplisit dituangkan dalam undang-undang penyiaran, tujuannya untuk mendorong perkembangan televisi lokal dan mengembalikan televisi lokal sebagai milik masyarakat lokal. Kedua, klausul perlu secara jelas mengatur mekanisme dan pembatasan jual beli saham perusahaan penyiaran.

Frekuensi Milik Lokal didominasi Televisi “ Nasional Berjaringan”.
Konsolidasi perusahaan memiliki dampak langsung pada coverage area atau market share. Ini disebabkan kepemilikan dan jangkauan transmitter perusahaan menjadi berlipat ganda dalam menjangkau masyarakat ketika perusahaan tersebut bergabung ditambah perusahaan tersebut memiliki televisi di daerah. Pencapaian luas coverage area dalam perspektif lokal dinilai tidak adil, ini juga terkait dengan rebutan kue iklan yang menyebabkan programming televisi lokal harus mengikuti/menyesuaikan dengan program televisi ‘Jakarta’.

Dalam ranah ekonomi, teori kepemilikan yang berkecenderungan monopolis atau oligopolies menyebabkan surplus masyarakat diambil, artinya pengusaha mengambil keuntungan berlebih, tidak dalam tingkat yang wajar. Ini menjadi bias ketika diukur dengan tiga hal, yaitu pertama, surplus konsumen diambil oleh pihak swasta bukan atas dasar kualitas, kedua, kepemilikan yang terbatas cenderung menyebabkan akumulasi kapital hanya dinikmati oleh segelintir pemilik media siaran, ketiga, ketika terjadi akumulasi kapital, maka para pemilik media siaran memiliki pula kesempatan amat terbuka untuk melakukan akumulasi kekuatan politik. Kecenderungan bisnis monopolis dan oligopolies juga mengancam persaingan iklan yang sehat. Masyarakat menderita kerugian yang tidak bias dikuantifisir nilainya, misalnya kerugian hilangnya kearifan lokal dan bahasa lokal.

Atas bahaya tersebut, maka media penyiaran perlu diatur dengan ketat, dengan cara ; pertama, persoalan perampasan dan dominasi frekuensi milik publik lokal oleh televisi ‘jaringan berbayar’ perlu dilakukan dengan mengembalikan frekuensi lokal kepada yang berhak yaitu publik lokal. Kedua, regulator perlu mengatur mekanisme untuk mendeteksi ada tidak adanya manipulasi terkait dengan pendirian dan kepemilikan televisi lokal. Ketiga, peraturan distribusi iklan diwilayah lokal dengan memuat ketentuan, perusahaan-perusahaan pengiklan yang menginginkan siaran iklannya mengacu daerah harus bekerjasama dengan televisi lokal.

Politik Redaksional Bias Pemilik.
Konsolidasi yang melahirkan variasi pola-pola kepemilikan media penyiaran diikuti pula oleh suatu sistem pengendalian dan kontrol yang ketat baik disisi pemilik modal maupun managemen. Ada dua macam model pengendalian dan kontrol, yaitu pertama menempatkan orang-orang ‘kunci’ yang memiliki modal atau hubungan dengan pemodal diberbagai struktur organisasi yang berada dalam satu group. Kedua, melakukan perbatasan saham pada anggota televisi ‘nasional berjaringan’ yang berkedudukan didaerah-daerah.

Motif pemilik dalam melakukan intervensi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu motif ekonomi dan motif politik. Kepemilikan media memberikan keuntungan ekonomis disaat yang sama ia menggenggam kekuasaan yang sangat besar karena kemampuannya dalam membentuk opini publik, citra-citra dan membangun suatu wacana tertentu. Seorang pemilik media mungkin tidak mendapatkan keuntungan yang memadai dari institusinya, namun tetap dipertahankan karena nilai ‘politiknya’. Kemampuan media dalam membangun suatu konstruksi sosial jelas memberikan kekuasaan bagi para pemilik dan pekerja media, karena dengan media orang dapat membangun suatu konstruksi tertentu dengan cara yang sangat meyakinkan. Hal ini telah memaksa para penguasa politik untuk berbaii-baik dengan para pemilik media, namun disisi lain para pemilik media itu memerlukan keamanan bisnis, maka disini terjadi simbiosis mutulaisme diantara penguasa dan pemilik media.

Kecenderungan untuk menggunakan televisi sebagai ‘alat’ penggebuk atau melindungi pemilik dari beragam kepentingan juga terjadi dalam politik, yaitu televise tidak hanya digunakan pemilik untuk mematut-matut diri demi citra yang baik, tapi juga tanpa ragu digunakan untuk menggebuk lawan-lawan politiknya atau setidaknya menenggelamkan dari liputan, maka popularitas pesaingnya akan menurun. Rivalitas politik pun kemudian hadir diruang redaksi. Disini para pemilik media tidak hanya berupaya menurunkan popularitas ‘rival’ politiknya, tapi ada taktik ‘meninggikan setinggi-tinggi dirinya dan menenggelamkan sedalam-dalamnya lawan politiknya’.

Negara Harus Membangun Lembaga Penyiaran Publik Yang Kuat.
Terlalu dominannya lembaga penyiaran swasta tidak baik bagi demokrasi, dan usaha membangun budaya sosial yang sehat. Maka lembaga penyiaran swasta memerlukan penyeimbang, yaitu lembaga penyiaran publik.
Di seluruh dunia, lembaga penyiaran publik identik sebagai media utama atau minimal penyeimbang dari media komersial yang hanya mementingkan eksplorasi profit dan tidak mendidik khalayak. Meminjam istilah filsuf Habermas; menjadi public sphere yang setara dan partisipatif. Dalam kerangka itu, media penyiaran public diluar negri diatur secara kuat, netral, independen dan professional.

Langkah PR2Media dan Rumah Perubahan LPP, lembaga nirlaba yang peduli transformasi LPP mencatat bahwa hingga menjelang akhir tahun 2003, kondisi lembaga penyiaran publik di Indonesia yang diwakili RRI dan TVRI masih sangat memprihatinkan. Sejak tahun 1998 telah memperlihatkan gejolak internal, pergeseran sikap dari pemerintah,pergeseran politik internal dikedua institusi. Kisruh pemecatan direksi TVRI sepanjang oktober-november 2013 membuktikan hal tersebut. Secara historis, kuatnya desakan eksternal masyarakat sipil pasca reformasi politik 1998 memuncak ketika disahkannya UU No 32 tahun 2002 yang menegaskan bahwa kedua lembaga adalah LPP yang netral, independen dan non komersial. Namun berlarut konflik kepentingan mencerminkan belum finalnya kesepakatan para pihak bagaimana desain pengelolaan kedua media penyiaran yang penetrasinya terluas ini.

Kondisi LPP saat ini
Riset yang dilakukan PR2Media tahun 2011-2012 yang di sponsori oleh Yayasan Tifa menyimpulkan 5 permasalahan serius, yaitu ; pertama, dukungan Negara yang lemah dalam lingkup ruang berkinerja yang memadai,independen dan kuat serta dukungan sumber daya keuangan yang cukup untuk operasional. Kedua, transformasi kelembagaan yang tidak pernah tuntas, menyangkut regulasi yang terkait dengan rekruitmen kepemimpinan puncak dewan pengawas dan dewan redaksi serta struktur organisasi agar kompatibel dengan prinsip independen dan tidak komersial. Ketiga, mayoritas SDM RRI dan TVRI adalah pegawai negri sipil yang lebih mengutamakan security job, menghambat kreatifitas dan inovasi. Keempat, kemampuan infrastruktur teknologi, ini kaitan dengan pelayanan LPP se Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.

Jalan Keluar : LPP ke Depan
Langkah baik PR2Media bersama berbagai elemen publik seperti Rumah Perubahan LPP, kolaisi independen untuk indepedensi penyiaran dan para akademisi, sepakat merekomendasikan beberapa isu krusial sebagai pilihan jalan keluar pembenahan LPP ke depan, yaitu ;
Prinsip indepedensi ; Lembaga penyiaran public harus menjadi acuan kualitas siaran, baik jurnalistik atau non jurnalistik yang terbaik serta LPP harus menjadi penyeimbang lembaga penyiaran swasta yang produknya berorientasi sensasionalitas berita untuk mengejar rating.
Status Kelembagaan ; Status kelembagaan LPP harus mengacu pada konsep public service broadcasting yang berlaku secara universal dan memiliki model pengelolaan kepegawaian dan keuangan tersendiri dengan mengacu pada reward and punishment ala media massa professional dalam struktur organisasi dipusat dan daerah.
Struktur Kelembagaan ; Sebagai lembaga yang menjalankan fungsi pelayanan public dan berkarakter media massa, maka struktur kelembagaan harus efektif dan efisien, mengacu kepada model lembaga penyiaran professional dan berstandar internasional. Untuk menjamin indepedensi, maka LPP harus berada dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Perlu dibentuk Dewan Penyiaran Publik sebagai institusi tertinggi yang mewakili kepentingan publik.
Tata Kelola SDM ; Pegawai LPP terdiri dari pegawai tetap dan tenaga ahli yang direkrut sesuai kebutuhan. Semua nya harus pegawai tetap, karena ini untuk memberikan kenyamanan bagi para pegawai, agar bias sepnuh hati dan rasa memiliki yang tinggi. Tenaga ahli hanya untuk periode tertentu sesuai dengan kebutuhan LPP.
Akses Publik ; Sebagai institusi public, LPP harus membuka akses seluas-luasnya bagi partisipasi public pada semua aspek, dalam struktur organisasional, isi siaran hingga pembiayaan. Dalam konteks struktur organisasional ; LPP memberikan kesempatan luas bagi kaum professional untuk duduk dalam struktur LPP. Menyangkit isi siaran, misalnya, LPP perlu bekerjasama seluas-luasnya dengan segala unsur yang berkembang dimasyarakat, baik materi maupun program siaran,pengawasan siaran, hingga pembentukan lembaga riset. Kemudian menyangkut pembiayaan ; selain bersumber dari APBN, LPP perlu diberi keleluasaan untuk menggali potensi dimasyarakat agar memiliki terobosan-terobosan.
Penggabungan RRI dan TVRI ; Langkah ini adalah keputusan politik yang berdampak bukan hanya mengubah isi siaran, melainkan bagaimana LPP harus beada dalam ketidaksembangan antara pendulum politik, kepentingan politik dan industri. Dampak lainnya adalah penyesuaian struktur dan jabatan di kedua lembaga tersebut.

Penyalahgunaan Frekuensi dan Ketidakberdayaan Khalayak.
Hasil riset PR2Media (2013), menunjukkan bahwa pemilik televisi kerap memunculkan iklan dirinya sendiri di stasiun TV miliknya, mengiklankan diri disetiap slot iklan dalam setiap aneka program siarannya. Pemilik stasiun TV pun melakukan blocking time dengan membuat acara-acara yang secara terang-terangan memanfaatkan frekuensi publik untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
Pemanfaatan secara massif untuk kepentingan pribadi juga memenuhi ruang-ruang imaji khalayak sehingga mendistraksi informasi yang bias digunakan sebagai modal pengetahuan oleh khalayak dalam kehidupan berpolitik. Televisi selama ini menguasai ruang-ruang keluarga di Indonesia, dan itu melanggar hak public untuk mendapatkan informasi yang lengkap, proporsional, dan informasi yang tidak bias Jakarta.

Rendahnya Kesadaran Hak Milik Atas Frekuensi.
Persoalan krusial seputar frekuensi, yaitu pertama, definisi dan batasan frekuensi. Frekuensi merupakan gelombang elektromagnetik yang diperuntukkan bagi penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan. Ia menjadi penghantar signal-signal melalui teknologi satelit yang dengan itu siaran dapat ditangkap oleh profider yang kemudian disalurkan ke layar televisi maupun radio. Karena frekuensi adalah benda yang tak terlihat, khalayak dalam tataran paling elementer ini pun mengetahui secara detail, apalagi jika dikaitkan bahwa barang tersebut merupakan ranah public dan bersifat terbatas. Kedua, frekuensi sebagai milik publik. Dalam struktur pemahaman khalayak, konsep kepemilikan masih perlu didiskusikan leih jauh secara historis dan ontologis. Secara historis, konsep kepemilikan dala struktur dan kultur masyarakat feudal, struktur kepemilikan berada pada hirarki dominan atau teratas dalam menentukan bentuk-bentuk relasi dengan sebuah barang yang dimilikinya. Dalam struktur, pemilik merupakan penentu nilai terhadap barang-barang benilai yang sangat didominasi oleh pola relasi kuasa. Masyarakat menjadi teralienasi dalam proses penggunaanya dan termarjinalisasi oleh dominasi kepentingan pemilik siaran. Persoalan menjadi krusial mengingat frekuensi memiliki nilai scarcity/kelangkaan karena bersifat terbatas dengan area dampak yang sangat luas dan mendalam.

Beragam Pemaknaan dan Persoalan “Daya Kritis”
Bukan hanya kesadaran khalayak yang rendah bahwa merekalah sebenarnya pihak yang paling berhak atas frekuensi yang saat ini digunakan oleh para pemilik media demi kepentingan politik dan juga ekonomi, tapi khalayak juga tidak memiliki kesadaran kirtis atas realitas yang ditampilkan oleh media. Pembacaan model dominan-hegemonik memang bukan satu-satunya cara pembacaan khalayak terhadap pesan-pesan media, terutama yang berkaitan dengan pemilik dan tokoh politik. Sebagian masyarakat sudah memiliki kesadaran kritis tentang iklan, yang dilihatnya sebagai pencitraan. Namun, disisi lain terdapat apatisme, sikap ini menjadi ruang hadirnya ‘fasisme media’. Media dalam konteks ini, kemudian membangun konstruksi atas mimpi masyarakat dalam beragam aspeknya. Fasisme media merupakan refleksi tercerabutnya budaya masyarakat. Diharapkan kesadaran kritis masyarakat akan terbentuk sehingga khalayak tidak mudah terhegemoni oleh media.

Singkat kata, save LPP save public right to know !
*) Resume atas Position Paper dari PR2Media, Rumah Perubahan dan Yayasan TIFA (2013)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun