Langkah PR2Media dan Rumah Perubahan LPP, lembaga nirlaba yang peduli transformasi LPP mencatat bahwa hingga menjelang akhir tahun 2003, kondisi lembaga penyiaran publik di Indonesia yang diwakili RRI dan TVRI masih sangat memprihatinkan. Sejak tahun 1998 telah memperlihatkan gejolak internal, pergeseran sikap dari pemerintah,pergeseran politik internal dikedua institusi. Kisruh pemecatan direksi TVRI sepanjang oktober-november 2013 membuktikan hal tersebut. Secara historis, kuatnya desakan eksternal masyarakat sipil pasca reformasi politik 1998 memuncak ketika disahkannya UU No 32 tahun 2002 yang menegaskan bahwa kedua lembaga adalah LPP yang netral, independen dan non komersial. Namun berlarut konflik kepentingan mencerminkan belum finalnya kesepakatan para pihak bagaimana desain pengelolaan kedua media penyiaran yang penetrasinya terluas ini.
Kondisi LPP saat ini
Riset yang dilakukan PR2Media tahun 2011-2012 yang di sponsori oleh Yayasan Tifa menyimpulkan 5 permasalahan serius, yaitu ; pertama, dukungan Negara yang lemah dalam lingkup ruang berkinerja yang memadai,independen dan kuat serta dukungan sumber daya keuangan yang cukup untuk operasional. Kedua, transformasi kelembagaan yang tidak pernah tuntas, menyangkut regulasi yang terkait dengan rekruitmen kepemimpinan puncak dewan pengawas dan dewan redaksi serta struktur organisasi agar kompatibel dengan prinsip independen dan tidak komersial. Ketiga, mayoritas SDM RRI dan TVRI adalah pegawai negri sipil yang lebih mengutamakan security job, menghambat kreatifitas dan inovasi. Keempat, kemampuan infrastruktur teknologi, ini kaitan dengan pelayanan LPP se Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.
Jalan Keluar : LPP ke Depan
Langkah baik PR2Media bersama berbagai elemen publik seperti Rumah Perubahan LPP, kolaisi independen untuk indepedensi penyiaran dan para akademisi, sepakat merekomendasikan beberapa isu krusial sebagai pilihan jalan keluar pembenahan LPP ke depan, yaitu ;
• Prinsip indepedensi ; Lembaga penyiaran public harus menjadi acuan kualitas siaran, baik jurnalistik atau non jurnalistik yang terbaik serta LPP harus menjadi penyeimbang lembaga penyiaran swasta yang produknya berorientasi sensasionalitas berita untuk mengejar rating.
• Status Kelembagaan ; Status kelembagaan LPP harus mengacu pada konsep public service broadcasting yang berlaku secara universal dan memiliki model pengelolaan kepegawaian dan keuangan tersendiri dengan mengacu pada reward and punishment ala media massa professional dalam struktur organisasi dipusat dan daerah.
• Struktur Kelembagaan ; Sebagai lembaga yang menjalankan fungsi pelayanan public dan berkarakter media massa, maka struktur kelembagaan harus efektif dan efisien, mengacu kepada model lembaga penyiaran professional dan berstandar internasional. Untuk menjamin indepedensi, maka LPP harus berada dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Perlu dibentuk Dewan Penyiaran Publik sebagai institusi tertinggi yang mewakili kepentingan publik.
• Tata Kelola SDM ; Pegawai LPP terdiri dari pegawai tetap dan tenaga ahli yang direkrut sesuai kebutuhan. Semua nya harus pegawai tetap, karena ini untuk memberikan kenyamanan bagi para pegawai, agar bias sepnuh hati dan rasa memiliki yang tinggi. Tenaga ahli hanya untuk periode tertentu sesuai dengan kebutuhan LPP.
• Akses Publik ; Sebagai institusi public, LPP harus membuka akses seluas-luasnya bagi partisipasi public pada semua aspek, dalam struktur organisasional, isi siaran hingga pembiayaan. Dalam konteks struktur organisasional ; LPP memberikan kesempatan luas bagi kaum professional untuk duduk dalam struktur LPP. Menyangkit isi siaran, misalnya, LPP perlu bekerjasama seluas-luasnya dengan segala unsur yang berkembang dimasyarakat, baik materi maupun program siaran,pengawasan siaran, hingga pembentukan lembaga riset. Kemudian menyangkut pembiayaan ; selain bersumber dari APBN, LPP perlu diberi keleluasaan untuk menggali potensi dimasyarakat agar memiliki terobosan-terobosan.
•Penggabungan RRI dan TVRI ; Langkah ini adalah keputusan politik yang berdampak bukan hanya mengubah isi siaran, melainkan bagaimana LPP harus beada dalam ketidaksembangan antara pendulum politik, kepentingan politik dan industri. Dampak lainnya adalah penyesuaian struktur dan jabatan di kedua lembaga tersebut.
Penyalahgunaan Frekuensi dan Ketidakberdayaan Khalayak.
Hasil riset PR2Media (2013), menunjukkan bahwa pemilik televisi kerap memunculkan iklan dirinya sendiri di stasiun TV miliknya, mengiklankan diri disetiap slot iklan dalam setiap aneka program siarannya. Pemilik stasiun TV pun melakukan blocking time dengan membuat acara-acara yang secara terang-terangan memanfaatkan frekuensi publik untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
Pemanfaatan secara massif untuk kepentingan pribadi juga memenuhi ruang-ruang imaji khalayak sehingga mendistraksi informasi yang bias digunakan sebagai modal pengetahuan oleh khalayak dalam kehidupan berpolitik. Televisi selama ini menguasai ruang-ruang keluarga di Indonesia, dan itu melanggar hak public untuk mendapatkan informasi yang lengkap, proporsional, dan informasi yang tidak bias Jakarta.
Rendahnya Kesadaran Hak Milik Atas Frekuensi.
Persoalan krusial seputar frekuensi, yaitu pertama, definisi dan batasan frekuensi. Frekuensi merupakan gelombang elektromagnetik yang diperuntukkan bagi penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan. Ia menjadi penghantar signal-signal melalui teknologi satelit yang dengan itu siaran dapat ditangkap oleh profider yang kemudian disalurkan ke layar televisi maupun radio. Karena frekuensi adalah benda yang tak terlihat, khalayak dalam tataran paling elementer ini pun mengetahui secara detail, apalagi jika dikaitkan bahwa barang tersebut merupakan ranah public dan bersifat terbatas. Kedua, frekuensi sebagai milik publik. Dalam struktur pemahaman khalayak, konsep kepemilikan masih perlu didiskusikan leih jauh secara historis dan ontologis. Secara historis, konsep kepemilikan dala struktur dan kultur masyarakat feudal, struktur kepemilikan berada pada hirarki dominan atau teratas dalam menentukan bentuk-bentuk relasi dengan sebuah barang yang dimilikinya. Dalam struktur, pemilik merupakan penentu nilai terhadap barang-barang benilai yang sangat didominasi oleh pola relasi kuasa. Masyarakat menjadi teralienasi dalam proses penggunaanya dan termarjinalisasi oleh dominasi kepentingan pemilik siaran. Persoalan menjadi krusial mengingat frekuensi memiliki nilai scarcity/kelangkaan karena bersifat terbatas dengan area dampak yang sangat luas dan mendalam.
Beragam Pemaknaan dan Persoalan “Daya Kritis”
Bukan hanya kesadaran khalayak yang rendah bahwa merekalah sebenarnya pihak yang paling berhak atas frekuensi yang saat ini digunakan oleh para pemilik media demi kepentingan politik dan juga ekonomi, tapi khalayak juga tidak memiliki kesadaran kirtis atas realitas yang ditampilkan oleh media. Pembacaan model dominan-hegemonik memang bukan satu-satunya cara pembacaan khalayak terhadap pesan-pesan media, terutama yang berkaitan dengan pemilik dan tokoh politik. Sebagian masyarakat sudah memiliki kesadaran kritis tentang iklan, yang dilihatnya sebagai pencitraan. Namun, disisi lain terdapat apatisme, sikap ini menjadi ruang hadirnya ‘fasisme media’. Media dalam konteks ini, kemudian membangun konstruksi atas mimpi masyarakat dalam beragam aspeknya. Fasisme media merupakan refleksi tercerabutnya budaya masyarakat. Diharapkan kesadaran kritis masyarakat akan terbentuk sehingga khalayak tidak mudah terhegemoni oleh media.
Singkat kata, save LPP save public right to know !
*) Resume atas Position Paper dari PR2Media, Rumah Perubahan dan Yayasan TIFA (2013)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H