Di era globalisasi ini, minat truna-truni Bali untuk bergabung, dan bergerak aktif di organisasi kepemudaan atau yang di kenal dengan Sekaa Truna di banjar mereka sangat rendah. Padahal melalui sekaa truna ini yoana Bali secara tidak langsung dibentuk hingga memiliki karakter yang bernafaskan budaya Bali dan Agama Hindu. Setiap kegiatan yang dilakukan di organisasi kepemudaan ini, menjadikan aspek-aspek kebudayaan dan agama sebagai pemoman mereka. Melalui sekaa truna ini juga truna-truni Bali bisa menumbuhkan rasa menyama braya yang lebih kental dikalangan mereka. Sekaa truna juga merupakan organisasi yang telah ada sejak dulu dan merupakan warisan turuntemurun dari leluhur masyarakat Bali, dan sudah sepatutnya juga sekaa truna di pertahankan.
Namun sayang kini truna-truni Bali lebih senang bergabung dan aktif di organisasi-organisasi yang memiliki link dengan sekolah atau kampus mereka. Atau di organisasi yang sesuai dengan hobi mereka. Seperti FAD, KISARA, atau organisasi-organisasi lain. Organisasi seperti ini biasanya bersifat tidak wajib. Tapi mereka cenderung lebih aktif disini. Kesibukan truna-truni Bali di sekolah dan organisasi-organisasi yang mereka ikuti, kerap kali menjadi alasan mereka untuk tidak mengikuti kegiatan di Sekaa Truna, organisasi pemuda yang wajib di ikuti oleh truna-truni Bali.
Globalisasi, hal ini slalu menjadi tameng para truna-truni ini untuk mengabaikan kegiatan sekaa truna. Istilah utama yang mereka gunakan begitu sederhana “dulu dan sekarang beda, dulu ya dulu, sekarang ya sekarang”. Kalimat itu selalu terlontar ketika orang tua berusaha mengingatkan anak nya bahwa sekaa truna adalah organisasi yang telah ada sejak dulu dan wajib diikuti oleh setiap remaja Bali.
Kalau sudah begini, terang saja semakin lama remaja bali semakin jauh dari kepribadian truna-truni Bali yang sesungguhnya. Prilaku truna-truni ini semakin lama semakin tak ada bedanya dengan remaja-remaja di luar Bali. Anak putri yang dulunya senang ketika di minta mebanten atau membantu ibunya metanding, kini justru sibuk mengurus dirinya dan asyik meniru penampilan-penampilan remaja putri di luar Bali. Padahal penampilan mereka sesungguhnya sangat jauh dari kebudayaan Bali. Celana yang pendek, baju ketat, atau rambut yang di bentuk semau mereka. Sama sekai tidak sesuai dengan kebudayaan Bali. Sedangkan remaja Putra yang seharusnya mampu membantu sang ayah ngelawar kini malah lebih senang membeli makanan di restaurant fast food, dan enggan belajar membuat lawar, masakan tradisonal khas Bali.
Kebudayaan yang ditanamkan memalui sekaa truna yang mampu membuat mereka menjadi yoana yang satwika, tidak bisa dimiliki oleh setiap truna-truni Bali karena tidak semua bahkan sangat sedikita yang bergabung dan aktif di organisasi kepemudaan ini. Yah, Sekaa truna memiliki peraan penting utuk membentuk karakter dan kepribadian truna-truni Bali itu sendiri. Biarpun di sekolah sudah ada pembelajaran Budi pekerti, tapi itu tidak akan mampu membentuk karakter seorang remaja sepenuhnya menjadi seorang remaja yang memilliki kepribadian yang sesuai dengan kebudayaan dan agama Hindu. Remaja yang satwika, itu lah yang dibutuhkan gumi Bali ini untuk tetap Ajeg dan Berjaya. Bukannya remaja yang sibuk menjadi pengikut budaya asing yang jauh dari kebudayaan Bali. Tak sesuai dengan Kebudayaan tanah kelahiran truna-truni Bali itu sendiri.
Semakin lama, Bali semakin tergilas Globalisasi. Kebudayaan Bali semakin menipis. Kepribadian masyarakatnya juga semakin jauh dari kepribadian manusia Bali yang telah dibentuk oleh leluhur masyarakat Bali. Bali tak bisa menunggu lama lagi, membiarkan asset utamanya, para truna-truni Bali terseret arus Globalisasi. Kini saatnya seluruh sekaa truna yang ada di Bali di bangunkan kembali dari tidur panjangnya. Untuk membangungkan organisasi ini, pastinya diperlukan tekat yang kuat dari truna-truni Bali sendiri. Tekat ini seharusnya ada mulai sekarang karena gumi Bali tidak bisa menunggu lagi. Gumi Bali sudah merindukan geliat gelora truna-truni Bali.
Sudah saatnya remaja Bali kembali di berikan wadah, dikumpulkan dan disatukan melalui organisasi kepemudaan warisan leluhur ini. Karna melalui sekaa trunalah para remaja Bali dapat menyelami kehidupan masyarakat Bali yang sesungguhnya. Kepribadian yang telah ditanamkan oleh leluhur masyarakat Bali selama berabat-abat juga ditanamkan dan dijadikan dasar dalam organisasi pemuda ini. Warisan ini harus tetap diturunkan ke generasi berikutnya. Maka dari itu melalui sekaa truna lah remaja-remaja ini mampu dibentuk menjadi manusia yang memiliki kepribadian yang sesungguhnya. Melalui Sekaa truna juga mereka berlatih untuk menjadi orang-orang yang siap mengajegkan Gumi Bali, yakni dimuali dengan mengajegkan diri mereka menjadi manusia Bali yang sesungguhnya, manusia yang Satwika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H