Mohon tunggu...
Ainun Nadliroh
Ainun Nadliroh Mohon Tunggu... -

Tak hanya ingin merangkai kata, namun ingin membuat kisah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta untuk Gadis

21 November 2013   21:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:50 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'tok.. tok.. tok..' Terdengar suara pintu diketuk di antara kesunyian gedung lantai tiga. Memang hanya satu ruangan yang masih menyalakan lampu. Sekitar tiga puluh orang memenuhi ruangan itu. Pintu pun terbuka. Terlihat sosok gadis berpakaian lusuh menatap seisi ruangan. Napasnya terengah, sekujur tubuhnya hampir basah oleh tetes-tetes keringat. Wajahnya pun terlihat kusam. "Maaf, Pak. Saya terlambat." Ujarnya agak bergetar. Seorang pria berkulit hitam dengan kumis tebal menoleh sebentar padanya. "Pergi!" ucapnya datar namun mengandung perintah yang tidak bisa dilawan. Gadis berbalik lalu berjalan menyusuri lorong-lorong di gedung tua itu dengan langkah gontai. Dia sungguh lelah. Usahanya untuk bisa mengikuti mata kuliah tambahan dari dosen killernya itu sia-sia. Ingin rasanya menjatuhkan air mata, tapi kehampaan yang dia rasakan. Langit berubah gelap. Awan-awan hitam seolah ingin bercengkerama bersama. Tak lama kemudian buliran air mengguyur bumi. Hujan.. Gadis mengagumi ciptaan Tuhan yang selalu memberikan kesejukan padanya itu. Entah mengapa, dia merasa hujan selalu datang saat hatinya lelah. Suara tetes-tetes air mengiramakan panggilan syahdu. Gadis segera menyapa hujan dengan rentangan tangan dan wajah yang menengadah ke langit. Guyuran hujan menerpa tubuhnya. Air matanya pun mengalir, namun bibirnya tersenyum. Dia tidak tahu, sepasang mata memandangnya. Dia terlalu sibuk bercengkerama dengan hujan. Dia hanya ingin menikmati kesejukan di setiap tetesan hujan. Hujan.. Entah berapa lama Gadis bermain-main dengan hujan hingga dia merasa tak ada lagi tetes air yang menyentuh wajahnya padahal suara hujan masih jelas terdengar. Perlahan kedua matanya terbuka. Sebuah payung biru menghalangi hujan jatuh menerpanya. "Pak Azril?" tanyanya hanya untuk meyakinkan siapa yang berdiri di sampingnya. "Kenapa kamu hujan-hujanan?" tanya pria tampan itu. "Tidak apa-apa, Pak. Saya memang suka dengan hujan." "Tapi ini sudah malam. Nanti kamu sakit." Gadis hanya terdiam. Dosen muda yang diidolakan oleh hampir seluruh mahasiswi ini memang cukup dekat dengannya. Bahkan terkadang dia berpikir kalau Azril menyukainya. Azril menyelimuti tubuh Gadis dengan jaket hitam miliknya dan mengajak Gadis berteduh di kafe kampus yang memang dekat dengan tempat mereka berdiri. Sebenarnya Gadis tidak suka meninggalkan hujan yang tiba-tiba reda. Mungkin hujan marah padanya. Gadis hanya tidak ingin menolak ajakan pria idaman itu. Dua cangkir kopi susu panas segera bertengger di meja mereka. "Terimakasih, Pak." Kata Gadis. "Sama-sama. Kenapa kamu masih di sini?" tanya Azril. Gadis teringat pengusiran tadi. Dia tertunduk sedih dan segera menghela napas panjang. "Sebenarnya saya ada kuliah tambahan, Pak. Tapi saya terlambat dan Pak Jaka tidak mengizinkan saya masuk." "Memangnya kenapa kamu terlambat?" "Ban sepeda saya bocor, Pak. Saya tidak menemukan tempat tambal ban atau bengkel. Jam segini pun sudah tidak ada angkutan umum yang lewat. Akhirnya saya nekat jalan kaki ke sini. Ternyata waktu tidak memihak pada saya meskipun saya sudah berlari-lari." "Kasihan kamu. Kenapa tidak menghubungi saya saja. Saya kan bisa menjemputmu." Gadis terperanjat mendengar perkataan dosennya ini. Matanya menatap lekat wajah Azril yang menjadi salah tingkah karenanya. "Kenapa, Dis?" tanyanya membuat Gadis tersadar. "Ah, tidak apa-apa, Pak." Seorang pria berkulit hitam yang baru masuk ke dalam kafe memandang mereka dengan tatapan sinis. Gadis tertunduk, jantungnya berdebar kencang. Azril mencoba untuk menenangkannya. "Minum kopinya dulu, Dis biar badan kamu hangat." Gadis hanya terdiam. Bagaimana dia bisa menikmati minuman di depannya itu dalam situasi seperti ini? "Rangkum semua materi yang saya berikan malam ini. Besok pagi hasil rangkuman itu harus sudah ada di meja saya!" perintah Jaka dengan suara datarnya. Gadis hendak protes dengan tugas itu namun dia tidak berani melakukannya saat melihat bola mata Jaka yang menatapnya tajam. Buru-buru wajahnya kembali tertunduk dan mengangguk. Saat dosen killernya itu pergi, Gadis melepas napas yang sejak tadi tertahan. "Maaf, Pak Azril. Saya harus pergi sekarang." "Tapi, Dis..." Gadis segera beranjak dari tempat duduk tetapi Azril menahannya. "Biar aku antar, Dis." Tanpa menunggu persetujuan Gadis, Azril membawanya pergi. Gadis minta diantar ke rumah Desi, teman kuliahnya, untuk menanyakan materi yang harus dia rangkum malam ini. Dewi fortuna sedikit memihak padanya. Desi merekam keterangan dari dosen di handphone-nya malam itu karena dia merasa mengantuk. Gadis tak menyiakan waktu yang ada. Dia segera pulang dan mengerjakan tugasnya setelah mengucapkan terimakasih pada Azril yang mengantarnya. Jarum jam terus bergerak. Ditemani segelas kopi dan lagu-lagu klasik, Gadis merampungkan pekerjaannya. Bulan bersinar sangat terang malam ini. Gadis teringat masa lalunya. Saat dia masih berpacaran dengan Arif, adik Jaka. Sejak itu pun dia merasa Jaka tidak menyukainya. Sejak itu pula dia takut pada kakak kekasih yang kini menjadi dosennya itu. Terlebih setelah Arif meninggal akibat kecelakaan saat hendak menemui Gadis. Dia merasa Jaka semakin membencinya. Gadis memandang foto Arif yang terbingkai indah. Wajahnya mirip dengan kakaknya. Hanya saja Arif tidak berkumis dan selalu tersenyum. Meskipun kulitnya hitam tapi terlihat sungguh manis. Malam itu Gadis terlelap bersama foto kekasih dalam dekapannya. Jiwanya terbang bersama cahaya bulan. Samar-samar Gadis melihat kekasih hatinya. Dia berlari mendekat hendak memeluk orang yang sangat dia rindukan itu. Namun semakin mendekat, jarak mereka semakin jauh. Dia terjatuh dengan napas terengah. Dia merasa sangat lelah. Tiba-tiba langkah Arif menghampirinya. Semakin dekat, lebih dekat, benar-benar dekat. Gadis bangkit memluk kekasihnya dengan derai air mata. Hatinya terasa damai. Gadis terisak dalam pelukan kekasihnya. Namun ketika dia melepas pelukan itu, sosok Arif berubah menjadi orang yang selama ini dia takuti. Dia segera berlari menjauhi orang yang hanya diam mematung itu. Dia terus berlari hingga terdengar suara kokok ayam yang sangat keras. Alarm di hp-nya berdering. Gadis terlonjak dari tempat tidur dan segera mematikan alarm. Jantungnya berdegup kencang, keringatnya mengucur deras. Dia menangis tanpa tahu sebabnya. Segelas air putih di atas meja belajar pun segera membasahi kerongkongannya. Dia melihat hp nya, ada satu pesan belum terbaca. Dia segera membaca kalimat demi kalimat di layar hp itu. Napasnya terasa berat, detak jantungnya berpacu lebih cepat. Sungguh dia tak percaya membaca tulisan itu. Gadis semakin terisak. Entah mengapa hatinya terasa kosong. Seolah ada sesuatu yang sangat berharga pergi dari jiwanya. Namun dia berusaha membangkitkan energinya. Pikirannya mulai jernih. Dia segera bergegas menuju komplek perumahan yang dulu memberinya kenangan manis. Suara isak tangis terdengar memilukan dari sebuah rumah yang telah lama tidak dia kunjungi lagi. Sebujur jasad terbaring di antara kerumunan orang-orang yang larut dalam isakan. Namun air mata Gadis tak satu pun menetes. Entahlah, hatinya kosong seolah tak ada lagi perasaan yang menghiasinya. Seorang wanita tua menghampirinya. "Nak Gadis." Sapanya seraya memeluk Gadis yang masih terpaku. Bahkan untuk mengucap duka cita dan bela sungkawa pun dia tak mampu. Bibirnya terasa kaku. Wanita tua itu tiba-tiba melepas pelukannya dan meninggalkan Gadis dengan kehampaan. Namun tak lama dia kembali membawa sebuah buku agenda bersampul hitam. "Nenek tahu bahwa sikapnya selalu menyakitimu dan membuatmu takut. Tapi di sini lah yang sebenarnya tersimpan." Ujar wanita tua itu. Gadis menerima buku itu dengan tangan bergetar. Usai pemakaman, Gadis segera pergi ke taman dan membaca buku yang tadi diterimanya. Kata demi kata dia baca meski hanya dalam hati. Senin, 2 Juli 2007 Tuhan menggerakkan hatiku untuk mengantar Arif ke sekolah meski dia kini sudah SMA. Ah, Arif tetap adik kecilku yang manja. Atau mungkin memang kami yang senang memanjakannya. Ternyata ada rencana Tuhan di sana. Aku melihat bidadari. Dia berjalan melewatiku dan Arif. Bahkan dia tersenyum sangat manis. Ah, hatiku terpanah. Aku tak mampu berkutik. Dadaku bergemuruh. Ada apa ini, Tuhan?   Minggu, 2 Desember 2007 Pagi ini bel rumah berdering panjang. Hatiku tergerak untuk membuka pintu. Lagi-lagi ada rencana Tuhan di sana. Tak ku sangka, bidadariku berdiri di teras rumahku. Rasanya tubuhku lemas ingin pingsan saat suara merdunya mengalir di telingaku. Entah apa yang dia katakan. Aku terlalu gugup. Aku segera berlari meninggalkannya. Ah, bodohnya aku! Seharusnya aku menyambutnya ramah dan mengajaknya berkenalan. Dalam hal seperti ini aku memang bukan ahlinya.   Senin, 31 Desember 2007 Malam tahun baru yang pilu. Arif bercerita bahwa dia telah memiliki pacar. Aku senang dia sudah berani mengambil tindakan sendiri tanpa harus bertanya padaku. Tapi setelah aku siapa kekasihnya itu, hatiku sungguh hancur! Oh Tuhan, mengapa harus Arif? Aku tahu bahwa sangat sulit bagi pria sepertiku mendapatkan cintanya. Bahkan untuk sekedar tersenyum padanya pun aku tak mampu. Namun aku percaya bahwa Arif akan membuatnya hari-harinya berwarna.   Jumat, 31 Desember 2010 Mengapa tragedi ini terjadi, Tuhan? Mengapa Kau biarkan Arif mengetahui perasaanku pada Gadis? Mengapa Kau jadikan aku sebab perginya adikku sendiri? Andai aku bisa lebih berhati-hati mencurahkan perasaanku yang terpendam, Arif tidak akan pergi menemui Gadis dalam keadaan marah. Arif akan tenang berkendara dan kecelakaan ini tidak akan terjadi. adakah rencana-Mu yang lain, Tuhan?   Senin, 5 September 2011 Oh Tuhan, mengapa Kau pertemukan lagi aku dengannya? Di antara sekian banyak kampus unggulan yang ada, mengapa dia memilih kampus daerah tampatku mengajar? Mengapa dia harus menjadi mahasiswiku? Mampukah aku menghadapi situasi seperti ini?   Sabtu, 1 Oktober 2011 Keberangkatanku ke Inggris yang tinggal satu bulan lagi menjadi alasan bagiku menambah jam kuliah. Itu artinya aku akan lebih sering bertemu Gadis. Aku akan membuat Gadis menjadi yang terbaik. Dia harus menjadi wanita tegar, cerdas, dan disiplin!   Minggu, 30 Oktober 2011 Gadis terlambat datang. Aku tidak memberinya izin mengikuti kuliah. Tapi aku akan memberinya tugas untuk merangkum semua materi yang kuberikan malam ini agar dia tidak tertinggal. Semua itu demi kebaikannya. Aku akan membuatnya menjadi yang terbaik. Dia harus kuat. Aku harap esok aku bisa melihat wajahnya lagi meskipun sebenarnya malam ini adalah hari terakhir aku menjadi dosennya. Ah, aku senang melihat gadis tersenyum di antara rintik hujan. Meski dari kejauhan, aku bisa merasakan kesejukan hatinya. Tapi aku tidak mau dia sakit. Seperti biasa, aku meminta Azril melakukan hal yang ingin kulakukan. Tak apa lah, yang penting Gadis tidak sakit. Maaf ya hujan, aku membuat Gadis meninggalkanmu.   Gadis tercengang. Hatinya terlonjak-lonjak. Begitu besar Jaka mencintainya. Itulah yang menyebabkan dia merasakan ada yang hilang dari jiwanya. Ternyata Jaka membawanya pergi. Samar-samar dia melihat wajah Jaka tersenyum padanya. Dia seolah mendengar suara Jaka memanggil namanya. Gadis berjalan mendekat. Langkahnya pelan namun pasti. Semakin dekat, lebih dekat, hingga benar-benar dekat. Air mata Gadis tak terbendung lagi. Dia memeluk cintanya, tak ingin melepasnya lagi. 'Tiin... Tiin... Brak!'

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun