Gerakan Sound of Borobudur sendiri menjadi media penafsiran ulang para seniman akan sejarah bangsanya, juga kekayaan budaya yang dimiliki leluhur bangsa ini. Ditunjang dengan bukti-bukti dan kajian secara akademis, gerakan ini menjadi gerakan lintas suku/etnis, lintas disiplin ilmu, lintas bangsa, juga lintas agama.
Nah, berpijak pada landasan kajian ilmiah yang ada, gerakan Sound of Borobudur juga akan diaplikasikan dalam beragam ruang pemberdayaan. Tentu saja, ini harus diselaraskan dengan perkembangan zaman yang sangat dinamis dan serba praktis. Beragam isu strategis tentu bisa menjadi bagian dari setiap alunan instrumen yang tercipta.
Menjadi pewaris kekayaan yang tak ternilai harganya, baik itu nilai dan tatanan diri, kemasyarakatan, kenegaraan dan tatanan untuk pengelolaan alam secara seimbang, bangsa kita memang patut berbangga, sekaligus wajib untuk menjaga, melestarikan, dan mengembangkannya, agar bisa makin memberi nilai kemanfaatan bagi masyarakat dan bangsa.
Harapannya, Sound of Borobudur Movement tak sekadar menghibur, namun juga menjadi pemersatu bahkan solusi untuk mengatasi berbagai masalah bangsa, baik di masa kini maupun di masa yang akan datang.
Eksistensi Sound of Borobudur Movement dari Waktu ke Waktu
Jika selama ini kebanyakan wisatawan sekadar menjadikan Borobudur sebagai latar belakang untuk berswafoto, kini kita bisa menggali lebih dalam lagi kekayaan budaya dari situs bersejarah ini. Melalui Sound of Borobudur, masyarakat diharapkan dapat lebih "merasakan", mengapresiasi dan menghargai Borobudur, bahkan ketika orang tidak menginjakkan kakinya sekalipun di area candi.
Mereka adalah tim Japung Nusantara (Jaringan Kampung Nusantara) yang terdiri dari Trie Utami, KRMT Indro Kimpling Suseno, Rully Fabrian, Bachtiar Djanan juga Redy Eko Prastyo. Setelah menemukan foto-foto alat musik di relief Karmawibhangga, muncul ide brilian untuk kembali menghadirkan alat-alat musik tersebut dalam wujud fisik dan membunyikannya.
- Tahun 2016
Rekonstruksi awal tiga instrumen musik dawai dipercayakan kepada Ali Gardy Rukmana, seniman muda dari kota Situbondo, Jawa Timur. Setelah dipamerkan pada acara Sonjo Kampung yang bertempat di Omah Mbudur, tiga alat musik ini akhirnya diluncurkan dalam acara pembukaan Borobudur Cultural Feast pada tanggal 17 Desember 2016 di lapangan Lumbini, di area Candi Borobudur, yang dimainkan oleh Dewa Budjana, Redy Eko Prastyo, Rayhan Sudrajat, Ali Gardy, Agus Wayan, John Arief, Trie Utami dan Didik Nini Thowok.
- Tahun 2017
Trie Utami, Dewa Budjana, dan para seniman terus mengeksplorasi, meriset, mewujudkan, dan membunyikan kembali berbagai alat musik yang tepahat di relief-relief candi Borobudur. Pada bulan Januari 2017, Sound of Borobudur kembali tampil pada kegiatan BUMN Hadir Untuk Negeri "Explore Borobudur", dengan formasi 8 musisi.
Selanjutnya, pada acara Borobudur International Festival 2017 yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, di bulan Juli 2017, pergelaran seni budaya lintas bangsa ini ditutup oleh pementasan Sound of Borobudur, masih dengan formasi 8 orang personil.
- Tahun 2020
Semakin serius mengembangkan ide, komponis senior, Purwa Tjaraka dilibatkan dalam proyek ini. Pada tanggal 6 Januari 2020, Sound of Borobudur tampil dengan formasi 14 personil dan instrumen yang semakin bertambah, dalam puncak acara Festival Pamalayu di Candi Padang Roco, Kabupaten Dharmasraya.