Mengubah paradigma "buang sampah" menjadi "kelola sampah" butuh waktu panjang. Meskipun kesadaran tentang pentingnya pengelolaan sampah semakin berkembang, realitas di lapangan menunjukkan sebagian besar sampah—terutama sampah organik—masih berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).
Timbulan sampah di Indonesia sebesar 69,9 juta ton lebih banyak didominasi sampah organik sebesar 41,6 persen. Ditambah lagi, sampah terbanyak berasal dari Rumah Tangga dengan persentase sekitar 44,37%.
Selengkapnya bisa kamu baca di sini: Kita Perlu Naik Level, dari Membuang Sampah Jadi Kelola Sampah
Alih-alih diolah, sampah organik dibiarkan bercampur dengan sampah anorganik di TPA. Ketika sampah organik terurai tanpa oksigen (anaerobik), gas metana yang dihasilkan berkontribusi signifikan terhadap pemanasan global. Metana, gas rumah kaca yang kekuatannya 25 kali lipat lebih besar dari karbon dioksida, menjadi ancaman besar bagi upaya mitigasi perubahan iklim.
Sejak dulu, kita punya solusi sederhana dan efektif untuk mengatasi masalah ini: komposting.
Kompos adalah hasil penguraian bahan organik seperti sisa makanan, daun, atau kulit buah yang bisa dimanfaatkan sebagai pupuk alami. Proses ini mengubah “sampah” menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk memperbaiki struktur dan kesuburan tanah. Sampah organik yang menumpuk dan tertimbun di TPA bisa kita kelola dari rumah sehingga tidak berakhir di tempat sampah.
Tapi...
Mencegah, atau setidaknya meminimalisasi jumlah sampah organik masuk ke TPA, bukan perkara mudah. Perlu ada gerakan terstruktur dari semua kalangan–pemerintah dan kita semua– agar menjadi kebiasaan yang berkelanjutan. Baru-baru ini misalnya, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) memberikan peringatan kepada 306 kepala daerah terkait pelanggaran dalam pengelolaan sampah. Musababnya, TPA di ratusan daerah itu masih menerapkan sistem pembuangan terbuka alias open dumping. Sederhananya, sampah yang dipindahkan ke TPA hanya ditumpuk begitu saja di dalam cekungan tanpa adanya pemrosesan.
"Pemerintah daerah diharapkan segera menanggapi ini dengan menyusun program konkret untuk pembenahan sektor pengelolaan sampah, terutama TPA." -Direktur Penanganan Sampah KLH, Novrizal Tahar, kepada Kompas.com.
Krisis pengelolaan sampah di Indonesia bisa memicu berbagai masalah lingkungan, termasuk pencemaran air tanah oleh lindi (air hasil pembusukan sampah) dan emisi gas rumah kaca yang tidak terkendali. Tragedi seperti longsor sampah di Leuwigajah, Bandung, tahun 2005, yang menewaskan lebih dari 150 orang, menjadi pengingat nyata tentang risiko buruk dari pengelolaan sampah yang salah.
Apa yang Mesti Kita Lakukan?
Seperti uraian di atas, mengubah paradigma buang sampah jadi kelola sampah butuh waktu panjang. Bukan hanya kontribusi masyarakat, tapi perlu ada sistem yang mengatur dan menyeluruh dari berbagai pihak, terutama pemerintah sebagai regulator.
Sebagai masyarakat yang ingin berkontribusi membuat lingkungan lebih lestari, kita bisa memulai lebih dulu sebagai individu, sembari mendorong seluruh pemangku kebijakan memperbaiki sistem yang ada. Levelnya tidak lagi soal wajib buang sampah di tempatnya; kita wajib mengelola sampah agar beban TPA atau TPST kian berkurang, yaitu lewat komposting.
Komposting bukan hanya tentang mengurangi sampah.
Dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar kita—sampah organik—kita bisa mengurangi emisi gas rumah kaca, menghemat biaya pengelolaan sampah dan pupuk, dan meningkatkan kesuburan tanah dan hasil pertanian.
Memulai komposting di rumah sangat mudah dan terjangkau. Kita tidak membutuhkan alat mahal atau lahan luas. Pertama, kita bisa mulai pisahkan sampah organik dari sampah lainnya. Sisa makanan, kulit buah, daun kering, dan sebagainya adalah bahan utama kompos yang bisa kamu simpan. Kedua, kamu bisa gunakan wadah komposter, bisa beli yang sudah jadi lewat marketplace atau membuat sendiri dari ember dan galon bekas.
Ketiga, tambahkan bahan pelengkap seperti serbuk kayu, tanah, atau dedaunan kering yang dapat membantu mempercepat proses penguraian Untuk memastikan sirkulasi udara, aduk bahan kompos setiap beberapa hari. Voila! Dalam 4-6 minggu, kamu sudah bisa menggunakan hasilnya untuk tanaman.
Bikin, sih, gampang, tapi... bisakah kita konsisten ke depannya?
Game Changer: Bumi Butuh Kompos
Oleh karena itu, #BumiButuhKompos menjadi sebuah gerakan yang mendorong kita semua berpartisipasi dalam pengelolaan sampah organik. Dengan komposting dari rumah, kita bisa ikut mencegah sampah organik berakhir di TPST dan TPA hingga meminimalisasi berbagai dampak dekomposisi sampah organik yang tertimbun di TPA.
#BumiButuhKompos adalah aksi nyata di Kompasiana yang masuk ke dalam edisi kedua payung program Game Changer. Setelah mewujudkan #SemuaBisaBelajar untuk adik-adik kita di Papua lewat Kompasianer Dayu Rifanto, Kompasiana akan kembali berkolaborasi bersama Kompasianer lain dan banyak komunitas dalam mendukung setiap elemen pembangunan berkelanjutan.
Yuk, ramaikan gerakan #BumiButuhKompos Game Changer. Bagikan aksi dan ceritamu lewat #BumiButuhKompos dan pantau terus cerita-cerita Game Changer selanjutnya, ya!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI