Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Mengurai Permasalahan Sampah di TPST Bantargebang, Mulai dari Mana?

27 Oktober 2024   15:24 Diperbarui: 28 Oktober 2024   13:24 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timbunan sampah di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (21/9/2021). (Foto: KOMPAS/AGUS SUSANTO)

Apakah kita memahami bahwa setiap sampah yang kita buang hanya berpindah tempat dan tidak hilang begitu saja? Apakah kita akan tetap sembarangan 'memproduksi' sampah tanpa berpikir panjang ke depannya?

Atau... pernahkah kamu melihat bagaimana "perjalanan" sampah dari tempat sampah rumah penduduk hingga diangkut ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST)? Setiap menit, detik, jam, sampah terus diangkut dari satu tempat ke tempat lain. Jika masalah ini dibiarkan tanpa solusi sistematis, kita akan menghadapi masalah serius. Volume sampah yang terus meningkat tidak sebanding dengan pengelolaannya.

Baca juga: Kita Perlu Naik Level, dari Buang Sampah Jadi Kelola Sampah 

Mari kita ambil contoh nyata kasus yang selalu jadi perhatian dan butuh solusi kompleks: TPST Bantargebang. 

Bayangkan saja, sudah 35 tahun sejak pertama kali beroperasi pada tahun 1989, TPST seluas 110 hektare ini masih menerima volume sampah hingga 8.000 ton setiap harinya. Dilansir KompasTV, per 2023 lalu, timbulan sampah itu terdiri dari 3.761 ton sampah organik dan 3.749 ton sampah anorganik dengan kondisi yang sudah tercampur

Pada satu kesempatan, Kompasianer Adinda Sakinah pernah menyusuri sampah yang diangkut dari rumahnya sampai ke TPST Bantargebang. Sejak pukul 7 pagi, petugas sampah sudah mulai mengambil sampah dari satu rumah ke rumah lainnya dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam gerobak sampah.

Setelah itu, sampah tersebut dibawa ke titik pengumpulan sementara-- tempat truk sampah sudah menunggu. Nah, ketika semua sudah terkumpul, sekitar pukul 7 malam, sampah dibawa ke TPST Bantargebang. Timbulan sampah yang dihasilkan baru berasal dari satu perumahan. 

"Sekali mengangkut, truk-truk sampah itu akan membawa sekitar 12 ton sampah ke Bantargebang," tulis Kompasianer Adinda Sakinah.


Lalu, bagaimana dengan nasib warga yang tinggal di dekat area TPST Bantargebang? 

Memang, warga mendapatkan "uang bau" atau uang kompensasi kepada 24.000 keluarga senilai Rp 350.000 per bulan di tiga kelurahan, yaitu Sumurbatu, Cikiwul dan Ciketing Udik; sekitar Rp 175.000 per bulan di satu kelurahan Bantarbang. Per 2024, uang kompensasi naik menjadi Rp400.000 per bulan dan dibayarkan setiap tiga bulan sekali, dengan akumulasi total Rp1,2 juta.

Masalahnya, uang kompensasi yang diberikan suka macet dan kurang memadai. Belum lagi, uang kompensasi bukanlah inisiatif yang menyentuh akar masalah. Volume sampah tetap tak terbendung. TPST Bantargebang memiliki batas maksimal.

Jika tidak melakukan pengelolaan yang serius, bukan tidak mungkin dampak dari tumpukan sampah yang terus menggunung akan membahayakan warga sekitar. Belum lagi, pembakaran sampah di TPST Bantargebang dapat memicu emisi gas beracun, seperti metana dan karbon dioksida, yang dapat memperburuk kualitas udara.

Berbagai Cara untuk Kurangi Sampah

Pemprov DKI Jakarta membangun Refuse Derived Fuel (RDF) di Rorotan, Jakarta Utara, untuk mengolah 2.500 ton sampah per hari menjadi 875 ton bahan bakar alternatif. Dikutip dari Kompas.id, proyek ini yang bertujuan mengurangi beban TPST Bantargebang dan meningkatkan pengelolaan sampah di Jakarta. Fasilitas ini dibangun di atas lahan seluas 7,87 hektar dengan anggaran Rp 1,208 triliun dan diharapkan beroperasi pada awal 2025.

Meski begitu, pengamat isu bekelanjutan (sustainability) dari Sigmaphi, Gusti Raganata, mengingatkan bahwa RDF Plant hanya mampu menangani 30% dari total sampah dan menyarankan metode pengelolaan lain yang lebih ramah lingkungan, seperti intermediate treatment facility (ITF) yang digunakan di kota-kota besar dunia.

Timbunan sampah di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (21/9/2021). (Foto: KOMPAS/AGUS SUSANTO)
Timbunan sampah di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (21/9/2021). (Foto: KOMPAS/AGUS SUSANTO)

Sebenarnya, ada hal-hal kecil yang bisa dilakukan oleh warga guna mengatasi masalah sampah seperti memulai gaya hidup bebas sampah hingga pemilahan sampah. Kompasianer Suprihati malah menyadari bahwa itu semua bisa berawal dari dapur setiap masing-masing rumah yakni limbah dapur. 

Limbah dapur, tulisnya, dimaknai limbah yang berasal dari sisa bahan makanan yang akan diolah.Ada paradigma hierarki penanganan limbah dapur yang mendukung kelestarian lingkungan.

"Dari pencegahan, minimisasi, penggunaan ulang, daur ulang, energy recovery hingga pembuangan akhir yang diupayakan dihindari," tulis Kompasianer Suprihati.


Kemudian penggunaan teknologi pengolahan sampah modern. Fungsinya adalah mengubah sampah organik manusia menjadi sumber energi.

Sementara sejauh ini, ada inisiasi yang dilakukan untuk mengurangi tumpukan sampah di Bantargebang, yakni menyerukan program SAMTAMA atau Sampah Tanggungjawab Bersama. Hal tersebut diketahui Kompasianer Repa Kustipia ketika berkunjung ke sana sekaligus menjadi relawan SAMTAMA.

Program SAMTAMA di antaranya terdiri dari pengembangan bank sampah, TPS 3R (Recycle Center), regulasi pembatasan penggunaan plastik sekali pakai, dan lain-lain; ada sampah residu, sampah kertas dan kardus, sampah aneka plastik, sampah botol dan gelas plastik, serta sampah kaleng dan beling.

"Karena untuk memudahkan pengkategorian proses pengolahan sampah atau daur ulang sampah, serta memudahkan para petugas yang bekerja di tempat pembuangan akhir untuk mengelompokan sampahnya di bank sampah," tulis Kompasianer Repa Kustipia.

Tapi sekali lagi, apakah itu semua sudah cukup dan bisa jadi solusi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun