Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Remco Vermeulen, Peneliti Warisan Budaya Kolonial yang Doyan Tahu Telor

21 November 2023   18:34 Diperbarui: 29 November 2023   07:15 1746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mungkin (kesan terhadap Belanda) tidak selalu positif, tapi setidaknya (peninggalan sejarah) itu bisa membuat orang lebih kritis. Kita perlu melengkapi pemahaman sejarah kita. Tidak saja unsur positifnya, tapi juga negatif agar kita bisa mendapat dua perspektif yang berbeda secara bersamaan. Semakin banyak kita tahu semakin lengkap pemahaman kita tentang sejarah," ujar Remco yang juga bekerja sebagai Urban Heritage Strategist Specialist di Institute for Housing and Urban Development Studies.

Bantu Remco Isi Survei Berhadiah di Sini!

Jika kita menyebut era kolonial Belanda, tentu saja kita membicarakan periode yang demikian panjang.

Remco memulai dengan karakter bangunan Hindia Belanda abad ke 17. Dengan dinding yang tebal, langit-langit tinggi, jendela yang relatif kecil, dan hanya terdiri dari satu atau dua lantai. Bahkan, bangunan Hindia Belanda memiliki karakter yang berbeda dibandingkan bangunan klasik dan barok ala Eropa lainnya. Tipikal bangunan ini bergeser ke seiring dengan perkembangan tren dan adaptasi iklim, hingga memasuki periode Art Deco dan periode percampuran antara Belanda-Nusantara.

Pada sebuah upaya restorasi bangunan/ruang bersejarah, setidaknya dibutuhkan 4 hal. Pertama: identifikasi sejarahnya. "Get to know the building," ujar Remco. Sebelum direstorasi, kita perlu mengetahui apa yang pernah terjadi di situ dan tidak menghilangkan "value" tersebut.

Kedua, mendata apa saja yang harus diperbaiki. Ketiga, membuat perencanaan pembangunan. Ketiga poin ini perlu disadari dengan mempertimbangkan poin keempat, yakni menentukan fungsional bangunan/ruang tersebut setelahnya.

"Jadi tahap pertama yang perlu diketahui adalah mengenal bangunan/ruang itu dengan baik, membuat analisis mana yang asli mana yang tidak. Mana yang ingin kita pertahankan, mana yang ingin kita tinggalkan. Dan kemudian yang tak kalah penting fungsi baru apa yang ingin kita aplikasikan pada bangunan/ruang tersebut dan bagaimana kita menyesuaikan dengan bangunan/ruang yang sudah ada," kata Remco.

Mengenai proses restorasi, Remco mengambil contoh pada proses restorasi Museum Fatahillah dan area publik di Kota Tua Jakarta.

Mulanya, Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah diperuntukkan sebagai Balai Kota. Dibangun tahun 1707 dengan mengikuti bentuk Royal Palace di Belanda. Stadhuis van Batavia direstorasi dua ratus tahun kemudian setelah Jakarta dikomandani oleh gubernur yang menyadari potensi pariwisata.

Adalah mantan Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, yang menjadikan bangunan itu sebagai Museum Fatahillah pada tahun 1974. Sebelumnya, museum ini berada di bawah sejumlah kepengurusan yang berbeda, yakni Yayasan Oud Batavia (1937), Lembaga Kebudayaan Indonesia, dan Pemda DKI Jakarta (1968).

Gagasan restorasi sebenarnya tak lepas dari kunjungan Ali Sadikin ke luar negeri. Di sana dia melihat banyak kota-kota bersejarah menjadi ruang terbuka publik, sekaligus museum hidup yang menuturkan sejarah.

"Ketika Ali Sadikin menjadi Gubernur Jakarta pada waktu itu dia banyak melakukan perjalanan ke luar negeri, termasuk Eropa. Di sana dia melihat banyak kota-kota bersejarah di Eropa yang sangat populer menarik wisatawan. Jadi banyak sekali wisatawan yang tertarik untuk berkunjung, dan dia berpikir, 'Hei di Jakarta juga punya banyak pusat-pusat kota bersejarah. Kita harus membuatnya lebih menarik bagi wisatawan.' Jadi pada masa-masa itulah Museum Sejarah Jakarta, Museum Wayang, Museum Bahari, hingga Museum Seni Rupa dan Keramik dibuka," katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun