Dunia pendidikan kerap dan/atau akan menjadi perhatian. Selain kegiatan belajar yang terjadi di kelas, tingkat kesehatan mental yang terjadi tiap individu mahasiswa.
Sayangnya mereka adalah generasi masa depan yang bakal produktif jika mentalnya sehat dan jiwanya bahagia.
Akan tetapi kesehatan mental yang banyak dialami anak muda saat ini perlu menjadi perhatian bersama. Permasalahannya bisa beragam, satu di antaranya: terlalu sering memikirkan kebahagiaan oranglain.
Mari kita coba lihat bersama bagaimana anak muda dan mahasiswa melihat fenomena kesehatan mental yang mereka bagikan di Kompasiana!
1. Perlukah Memikirkan Kebahagiaan Orang Lain?
Pertanyaan umum yang muncul bagi Kompasianer Maulidya Rahmah tentang kebahagiaan adalah menemukan dan mempertimbangkannya.
"Sejauh mana kita perlu mempertimbangkan kebahagiaan orang lain dalam perjalanan kita untuk menemukan kebahagiaan kita sendiri," tulisnya.
Pasalnya dalam memikirkan tentang kebahagiaan orang lain dapat memiliki berbagai dampak, baik positif maupun negatif.
Tentunya itu perlu dilihat bagaimana memikirkan tentang kebahagiaan orang lain berarti memiliki empati dan peduli pada kesejahteraan mereka secara keseluruhan? (Baca selengkapnya)
2. Jangan Biarkan Terang Padam, Mengatasi Masalah Kesehatan Mental Mahasiswa
Kompasianer Agustina Mufidatuzzainiya melihat kesehatan mental adalah aspek yang sering diabaikan dari kesejahteraan seseorang.
Terlebih, mahasiswa adalah kelompok yang rentan terhadap masalah kesehatan mental, dan kasus depresi, kecemasan, serta bahkan pikiran untuk bunuh diri semakin meningkat.
Ada banyak faktor, apalagi selain faktor sosial, mahasiswa sering kali berhadapan dengan masalah seperti kesepian, tekanan teman sebaya, serta ketidakpastian tentang masa depan mereka.
Inilah yang kerap sulitnya mengatasi permasalahan kesehatan mental mahasiswa karena meresa bingung.
"Mahasiswa mungkin merasa bingung tentang langkah apa yang harus mereka ambil jika mereka merasa stres atau cemas," tulis Kompasianer Agustina Mufidatuzzainiya. (Baca selengkapnya)
3. Seni Memberikan Pujian yang Memotivasi: Pandangan Orangtua dan Pendidik dalam Era Kompleks
Kisah tentang seni memberikan pujian, tulis Kompasianer Shafira Halmahera, akan mendorong pertumbuhan anak-anak ini penting dalam perjalanan pendidikan dan perkembangan manusia.
"Orang tua dan pendidik memiliki peran kunci dalam membentuk mentalitas dan perkembangan psikologis anak-anak di tengah berbagai aspek realitas kontemporer," lanjutnya.
Apalagi jika melihat pandangan tentang seni memotivasi perkembangan anak-anak melalui pujian seperti pujian yang spesifik dan positif.
Sebagai contoh, ketika memberikan pujian yang spesifik kepada anak memungkinkan mereka merasa dihargai dan diperhatikan. (Baca selengkapnya)
4. Hidup Lagi Capek-capeknya dan Ternyata Dunia Tidak seperti Kamu Mau, Jadi Harus Bagaimana?
"Semua pernah lelah atau sedang lelah dengan kehidupan, yang pada kenyataannya tidak selalu seperti apa yang kamu mau," tulis Kompasianer Ani Sudaryanti
Pertanyaan besarnya yang ditawarkan adalah bolehkan memiliki ekspektasi tinggi?
Dalam mencapai ekspektasi tinggi, lanjutnya, merupakan sebuah proses dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapainya. Belum lagi ada hal yang perlu kita hadapi diluar dari perkiraan sebelumnya.
Setelah itu semakin tingginya ekspektasi tentu akan berbanding lurus dengan kekecewaannya yang dalam.
Nah, hal yang bisa dilakukan yakni mengelola rasa kecewa inilah yang perlu kita lakukan, paling tidak kita usahakan. (Baca selengkapnya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H