Hey, biasanya kamu cari warung yang seperti apa: enak, murah, atau enak dan murah? Atau, kalau ada warung yang masih mau diutangi ketika kita sedang seret uang. Nah, itu!
Kadang kita tak habis pikir, apa warung seperti itu masih bisa dapat untung? Bagaimana mereka bisa bertahan? Apalagi walau warung-warung mereka selalu ramai.
Warung-warung seperti ini banyak sekali kita temui. Entah tempat kita nongkrong semasa sekolah maupun kuliah. Tetangga kita yang membuat warung makan juga bisanya demikian.
Nah, kami coba rangkum beberapa cerita Kompasianer tentang warung-warung yang pernah mereka datangi --entah karena kesannya atau kenangannya-- dulu.
1. Sebuah Lesehan di Jogja, Membuktikan Hukum Tabur Tua Itu Bekerja
Kompasianer Ajeng Leodita Anggarani menceritakan pengalamannya kala merantau ke Jogja untuk kuliah pada 2007 silam.
"Tiap akhir pekan saya suka ikut teman-teman saya nongkrong. Nggak ada kata absen. Pokokmen nek ora metu dino Septu ora mbois," tulisnya.
Akan tetapi inilah masalahnya: sebagai anak kuliah yang jauh dari orangtua tidak serta merta membuat saya dimanjakan dengan uang jajan yang banyak.
Sampai suatu ketika Kompasianer Ajeng Leodita Anggarani diajak nongkrong ke Warung Trotoar di jalan Malioboro.
Pernah suatu hari datang dan nggak punya uang, kenangnya, tapi Pakdhe sudah menyajikan nasi goreng langganan tanpa terlebih dulu dipesan. Gratis. (Baca selengkapnya)
2. Warung Langganan: Dari Kas Bon sampai Coping Mechanism
Kompasianer Junjung Widagdo kali ini ceritakan beberapa warung karena telah menemaninya dari masa ke masa: perjalanan panjang kehidupan.
Pada warung-warung langganan ada berbagai kebaikan yang ditebarkan oleh si pemilik warung.
Warung tersebut tidak sekadar mencari untung maupun transaksi jual beli.
Warung-warung ini memastikan diri untuk tetap mendapatkan profit tetapi tetap menebar berbagai kebaikan: dari memberi kas bon sampai memberi THR.
Ingin tahu seperti apa kelanjutan ceritanya dan warung seperti apa yang dimaksud? Silakan simak di sini.
3. Warsun Bu Sholeh: Ambil Makanan dan Catat Sendiri
Ada sebuah warung nasi oleh Kompasianer Gregorius Nafanu dan teman-tamannya namai dulu. Warsun Bu Sholeh, namanya.
Warsun Bu Sholeh ini harganya murah, boleh juga makan gratis dulu lalu bayar belakangan. Pada masanya malah harga paling tinggi itu seribu rupiah sekitar tahun 1993 dan paruh tahun 1994.
"Warung ini dikelola oleh sepasang suami istri bernama Sholeh. Tepatnya di Babakan Fakultas (Bafak), belakang kampus lama IPB, Bogor," tulis Kompasianer Gregorius Nafanu.
Harga makanannya yang paling murah, lanjutnya, menjadikan makanan di warungnya cepat habis sebelum maghrib. (Baca selengkapnya)
4. Membedah Kondisi Tak Logis Paket Nasi Padang Rp 10.000
Ada yang tiba-tiba ramai, tapi tidak perlu menunggu viral: paket nasi padang Rp 10.000.
Kompasianer Sunan Amiruddin memecahkan misteri itu dengan (1) memerhatikan papan menu dan daftar harga yang tertera di beberapa Warung Padang.
Selanjutnya, (2) coba pesan paket lauk dengan cara berbeda: paketan dan satuan.
Setelah dicoba, ternyata membeli itu secara satuan ada selisih yang lumayan lho, Rp 3.000. Padahal lauk yang dipesan sama! (Baca selengkapnya)Â
***
Silakan simak konten menarik lainnya terkait pembahasan berikut di Topik Pilihan: Warung Berjasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H