"Penyintas itu bukan berarti Anda lebih pintar atau paham soal kesehatan jiwa." dr. Andri, dalam diskusinya bersama Tim Kompasiana hari Jumat (23/9).
Memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tanggal 10 Oktober, Tim Kompasiana mengundang dr. Andri, Sp.KJ, FAPM., sebagai tamu dalam program Topik Pilihan Kolaborasi bulan Oktober. Membuka obrolan dengan Kompasianer yang berpraktik di RS EMC Tangerang itu, kami bertanya mengenai pendapat dr. Andri terhadap fenomena diagnosis mandiri yang kini tengah menjamur di tengah masyarakat.
Ia mengapresiasi isu kesehatan jiwa yang kini telah menjadi perbincangan populer di media sosial, di kalangan anak muda. Salah satunya juga dikarenakan drama Korea yang kerap menyelipkan isu masalah kejiwaan di dalamnya. Meski demikian, ia menyoroti pembahasan gangguan kejiwaan yang cenderung disimplifikasi ke dalam spektrum atau diagnosis tertentu saja.
"Kejiwaan itu luas! Luas sekali. Ada 159 diagnosis gangguan jiwa, tidak hanya depresi dan bipolar saja. Tapi mengapa kok saya lihat influencer mengidentifikasikan ODGJ itu sama dengan skizofrenia?"
Ia juga mengkritisi kecenderungan anak muda yang sekilas malah terlihat berbangga jika merasa dirinya mengidap bipolar. "Kenapa kok sekarang jadi kayak keren ya, kalau punya bipolar?"
Dokter Andri menjelaskan bahwa ada perbedaan antara Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dan Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Contoh ODMK, biasanya yang sering terjadi di kalangan pekerja dan pengguna media sosial.
Kebiasaan hustle culture dan penggunaan medsos yang berlebihan dapat mempengaruhi kesehatan jiwa sehingga orang yang bersangkutan mengalami burnt out. "Nah burnt out ini, bisa dialami oleh saya, oleh kita semua. Nah kita semua ini yang mengalami burnt out termasuk ke dalam ODMK. Kalau bisa dikelola, ya kita bisa sehat jiwa lagi, sehingga tidak menyebabkan anxiety. Tidak berlanjut menjadi ODGJ."
Guna meluruskan stigma dan kekeliruan persepsi, dr. Andri sering melakukan edukasi melalui artikel dan video di media sosialnya. Ia merasa terbantu dengan komunitas penyintas yang kerap memberi edukasi dan semangat kepada pasien untuk sembuh. Akan tetapi, pada satu titik, pasien bahkan lebih mempercayai informasi dari penyintas alih-alih rekomendasi dari dokter.
"Kepercayaan kepada komunitas itu bagus, tapi harus dimoderasi. Komunitas penyintas punya peran yang sangat kuat hingga lebih didengar daripada ucapan dokter. Sampai ada yang pernah bilang 'Dokter gak ngerasain sih apa yang saya rasain'," kisah dr. Andri.
Dokter Andri --mengutip WHO---menuturkan bahwa pada tahun 2020 gangguan depresi menempati urutan kedua terbanyak setelah penyakit kardiovaskular. Karenanya, dr. Andri menganjurkan masyarakat untuk menyadari kondisi kejiwaannya.
"Kapan mesti ke psikiatri? Jika ada gangguan berat yang menyebabkan fungsi seseorang terganggu. Misalnya sedih sampai nggak bisa ngapa-ngapain lebih dari dua minggu. Cemas, takut ke mana-mana, takut jalanan, takut ketemu orang. Kenapa? Karena psikiater bisa kasih obat. Nanti setelah dipulihkan kondisinya, baru dibantu pola pikirnya oleh psikolog. Jangan sampai amigdala kita rusak."