"Orangtua saya awalnya tidak setuju, bahkan sampai tidak ingin membiayai kuliah. Tapi, akhirnya Kakek saya yang mau membiayai kuliah."
Pada saat kuliah, Rei menaruh minat yang sangat besar pada periodisasi sejarah Islam dan Kesultanan. Meski demikian, sulitnya bahan bacaan dan sumber referensi yang terbatas pada sejarah Islam mengantarkannya bertualang ke sebuah era yang berbeda, yakni era kolonial Indonesia dan Asia Tenggara. Khususnya mulai tahun 1920-an hingga pra-kemerdekaan.
Rupanya, keputusannya itu tepat. Data dan sumber referensi untuk periode kolonial amatlah banyak. Ironisnya, peneliti sejarah pada era ini masih sangat sedikit. Masih banyak ceruk yang dapat diteliti sehingga peluang eksplorasi pun makin besar.
Keputusan ini pula yang akhirnya mempertemukan Rei dengan Peter Carey.
"Jadi waktu itu saya kesulitan mencari pembimbing skripsi karena mengangkat sejarah kolonial. Ada satu dosen yang periodisasinya mirip, tapi masih kejauhan. Itu Mas Bondan Kanumoyoso yang sekarang jadi Dekan FIB. Akhirnya saya disarankan untuk mengambil pembimbing eksternal, itu Pak Peter Carey. Mas Bondan itu periodisasinya VOC, Pak Peter Carey sekitar tahun 1820 saat Diponegoro. Masih jauh dengan skripsi saya, tetapi sudah lumayan dekat," ungkapnya.
Rei dan Netizen
Selain bisa mengenal insan dan lembaga sejarah internasional, ada lagi satu kebahagiaan bagi Kompasianer Christopher Reinhart: ketika tulisannya membantu masyarakat dan direspons oleh publik. Misalnya saat ia mempublikasikan tulisan perdananya di platform digital, yakni di Kompasiana.
Saat itu Rei masih berstatus sebagai seorang mahasiswa yang terkesan dengan materi dari dosennya. Daripada menguap begitu saja, hasil olah pikirnya pun ditumpahkan melalui seorang artikel yang dibaca oleh ratusan Kompasianer.
"Bagi saya audiens sebanyak itu sudah banyak sekali! Senangnya menulis di Kompaiana itu mendapat banyak apresiasi dari pembaca. Apalagi kalau mendapat 'Pilihan' dan lain-lain," ungkapnya.
Contoh lainnya ialah saat ia membuat utas di Twitter. Ia kerap berjumpa dengan pencinta sejarah yang berbeda pandangan. Meski begitu, Rei menyambutnya dengan sukacita.
"Sebenarnya berdiskusi tentang sejarah di Twitter itu asyik, kita jadi bisa tahu argumen orang-orang dengan rujukan dan referensi tambahan untuk dibaca dan diteliti lagi," ujar Rei.
Pasalnya, bagi Rei, ilmu sejarah bukanlah ilmu yang tabu didebat. Menurut Rei, kesepakatan sejarah yang telah dibuat bisa saja berubah di lain waktu seiring dengan ditemukannya bukti-bukti anyar.