Guido sempat ingat cerita ayahnya pada pertengahan tahun 90-an pada masa Orde Baru, bahkan harga jual tanaman cengkih dari petani sempat anjlok. Inilajh yang perlu dihindari di kemudian hari.
Syukurnya para petani mudah ini adalah golongan yang lebih adaptif, lebih pintar menggunakan teknologi dan mencari informasi sehingga bisa mencari celah pemasaran yang lebih efektif.
Problem kedua adalah soal kepemilikan lahan.
Banyak petani di Manggarai tidak memiliki lahan sendiri. Pada praktiknya para petani di Manggarai adalah petani kecil yang menyewa lahan dari pemilik lahan/petani besar. Ada pula yang berprofesi sebagai buruh tani yang diupah secara regular.
Upah buruh tani sendiri biasanya disesuaikan dengan kesepakatan antar si buruh dan pemilik lahan.
"Oleh karena itu, upah yang diberikan pun lumayan besar. Hal itu seturut dengan beban jam kerja yang diberikan kepada buruh tani," tulis Kompasianer Guido Tisera.
Besaran yang bisa diterima buruh tani ini antara 70 ribu - 75 ribu per hari. Bayaran tersebut belum termasuk konsumsi dan biaya lainnya. Untuk jam kerjanya sendiri, banyak buruh tani di Manggarai bekerja selama 8 jam per hari. Intinya, terjadi kesepakatan antara pemilik lahan dan buruhnya.
Isu ketiga, ragam tanaman. Karena cuacanya yang panas, tidak semua tanaman bisa tumbuh di Manggarai. Tanaman sorgum, misalnya. Tanaman ini tidak bisa tumbuh di Manggarai. Tetapi Manggarai punya cengkih, kopi, vanili, jagung, umbi, ketela, dan baru-baru ini: porang.
Ini menjadi tantangan tersendiri bagi petani Manggarai untuk memaksimalkan varietas tanaman yang bisa tumbuh supaya keanekaragaman pangan khas tetap terjaga.Â
Meski begitu, semakin bertambahnya pengalaman bertani, Kompasianer Guido Tisera memutuskan untuk fokus pada 3 jenis tanaman: cengkeh, porang, dan cabai dalam skala kecil.
***
Tradisi Bertani di Manggarai Barat
Karena kegiatan bertani sudah menjadi bagian dari kebudayaan Manggarai Barat, Flores, NTT, maka pada setiap musim panen, warga memiliki tradisi sendiri untuk merayakannya.