Apa memori yang terlintas di pikiranmu saat baru mulai belajar berpuasa?
Apa pula yang ada di benak orangtua saat melihat anaknya belajar puasa? Merasa iba, tidak tega, atau malah merasa lucu?
Membincangkan periode belajar berpuasa, Kompasianer Listhia H. Rahman teringat tentang pengalamannya saat belajar berpuasa. Ia yang ketika itu masih kecil pernah secara diam-diam makan di kamar setelah terbayang menu sahur yang enak: sop daging.
"Jadi waktu itu tiba-tiba keingat makanan sahur, sop daging, enak banget, terus aku ngumpet ngambil makanan di dapur," ujar Kompasianer Listhia, sambil tertawa mengingat kejadian itu.
"Iya, sop dagingnya aku bawa ke kamar, terus aku makan, deh," lanjutnya.
Orangtuanya pun tahu kejadian itu, tapi tidak dimarahi. Katanya, mungkin mengerti anaknya masih kecil dan perlu waktu untuk belajar berpuasa.
Selain berpuasa di rumah sekolah, dulu setiap sore di bulan puasa Listhia dan teman-teman rumahnya akan mengikuti kegiatan di TPQ yang ada di Masjid dekat rumahnya.
"Seingatku dari SD kelas 1 sampai kelas 6 itu selalu ikut, semacam Sanlat (Pesantren Kilat) gitu kali, ya, di Masjid," kata Kompasianer Listhia HR.
Kegiatan tersebut, lanjutnya, dilaksanakan dari pukul 15.00 hingga waktunya berbuka puasa. Jadi, bisa sekaligus ngabuburit kemudian buka puasa bersama di Masjid.
Baca juga: TPQ At-Taqwa dan Suasana Ramadhan yang Membuat Rindu
Karena aktivitas tersebut, Listhia mengaku tidak pernah merasa punya banyak pilihan menu saat berbuka. Seadanya yang tersedia di Masjid.
"Semua makanan untuk berbuka itu dari urunan warga sekitar saja, jadi paling, ya, teh manis dan makanannya macam-macam, deh," lanjut Kompasianer Lishia HR.
***
Kompasianer Lishia pertama kali bergabung di Kompasiana itu 4 Oktober 2014 saat masih kuliah S1 di Universitas Diponegoro, Semarang.
Entah apa yang membuat dan membawanya untuk menulis di Kompasiana, tapi momennya ketika itu adalah saat Idul Adha.
"Aku ndak inget kenapa bisa nulis di Kompasiana, tapi yang bikin aku senang itu tulisan pertamaku ternyata jadi Headline dan banyak yang berkomentar," kata Kompasianer Listhia HR.
"Aku ingat, komentar pertama ditulisanku itu dari Opa Tjipta (Kompasianer Tjiptadinata Effendi)," lanjutnya.
Konten pertama Kompasianer Listhia HR juga saat itu sudah langsung tentang ilmu gizi yang dikaitkan dengan momen Idul Adha: Ibadah Berkah, Kolesterol Tak Masalah.
Ada momen menarik juga saat baru mulai menulis di Kompasiana, yakni tulisannya dimuat di Kompas Muda hingga Majalah Eduguide.
"Dari kejadian ini, saya menemukan pesan: Jangan takut untuk menulis, selagi tulisan itu benar dan bermanfaat, tulisan akan membela dirinya sendiri," tulis Kompasianer Listhia HR, saat menceritakan pengalamannya itu.Â
Pada Kompasianival 2017, Kompasianer Listhia HR terpilih sebagai Best in Specific Interest karena konsistensinya menulis tentang dunia kesehatan, khususnya isu gizi.
Kompasianer yang memiliki hobi menari, main kalimba, dan membuat konten kosehatan dan fiksi ini menyelesaikan pendidikan S1-nya di Universitas Diponegoro di jurusan Ilmu Gizi. Kemudian ia meneruskan S2 di Universitas Gadjah Mada: Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan peminatan Gizi Kesehatan.
Kini, sejak tahun 2021, Kompasianer Listhia bekerja sebagai dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan HOLISTIK, Purwakarta.
Lewat mengajar dan membuat konten di Kompasianer Listhia HR makin mudah membagikan pengalaman maupun pengetahuan yang dimilikinya mengenai gizi dan kesehatan.
"Lewat kompasiana saya bisa menemukan banyak hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. (Kemudian) Lewat menulis di kompasiana, saya bisa membagikan sesuatu yang (semoga) bermanfaat buat orang lain. Karena sebaik-baiknya manusia itu bermanfaat bagi sesamanya." --Kompasianer Listhia HR.Â
Apalagi kini menyambut bulan Ramadan, Listhia memiliki perhatian khusus pada beberapa isu gizi. Di antaranya isu obesitas, stunting, dan anemia. Ia menekankan pentingnya pemenuhan gizi sejak anak-anak.
"Kalau lagi belajar puasa, (sebenarnya) buat anak-anak itu tidak perlu dipaksakan. Jadi, memang mesti sekuatnya anak," ungkap Kompasianer Listhia HR.
Permasalahan yang kerap ditemui ketika anak-anak belajar puasa itu, lanjutnya, mudah dehidrasi.
Ini bisa dipahami, karena terkadang untuk bangun dan makan sahur saja anak-anak sulit sekali. Belum lagi anak itu hanya mau makan sahur yang disuka saja.
Makanan yang tidak beragam selama sahur ternyata berdampak pada anak-anak dan membuatnya mudah lemas saat menjalani puasa.
"Anak-anak itu rentan defisiensi micronutrient (vitamin dan mineral), jadi solusinya adalah makan yang beragam," kata Listhia.
Boleh saja mengonsumsi multivitamin, tetapi anak tetap harus mengonsumsi pangan yang beragam supaya kebutuhan gizinya tercukupi. Oleh karena itu, penggunaan multivitamin jadi jalan terakhir. Multivitamin dapat diberikan kepada anak-anak untuk merangsang nafsu makannya.
Kompasianer, pernahkah ketika kecil kamu memililih-milih makanan saat sahur dan berbuka ? Ataukah kamu menemukan kasus ini pada anak dan keponakanmu? Apa yang biasanya kamu lakukan untuk mengatasinya?
Bagaimana cara mengakali supaya anak yang berpuasa tidak lantas mengalami dehidrasi, defisiensi micronutrient, atau hanya mau memilih makanan yang manis-manis?
Nah, Topik Pilihan Kolaborasi edisi berikutnya akan menjadi ajang Kompasianer Listhia untuk menantangmu menuliskan konten tentang isu ini. Yuk ingat-ingat  pengalaman yang pernah kita lalui, lalu segera buat kontennya di Kompasiana!
Tunggu tanggal mainnya, sebentar lagi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H