Setelah Reynhard Sinaga mendapatkan vonis hukuman penjara seumur hidup akibat kasus perkosaan, untuk kali pertama, pada Senin (4/10/2021) lalu, Kepolisian Manchester merilis foto Reynhard Sinaga saat ditangkap pada 2017.
Pada 6 Januari 2020, Reynhard dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dengan waktu minimum 30 tahun sebelum dapat mengajukan permohonan bebas.
Dari awal persidangan kasusnya, Reynhard secara konsisten mengatakan, hubungan seksual yang dilakukan merupakan atas dasar suka sama suka, walau kemudian terungap fakta pengadilan bahwa para korban tidak sadarkan diri.
Baca juga: Adilkah Pengadilan Britania Raya terhadap Reynhard Sinaga?
Akan tetapi, pada Jumat (11/12/2020), hukuman seumur hidup terhadap Reynhard Sinaga diperberat dengan minimum 40 tahun.
Kompasianer Alfikri Lubis coba menganalisis bagaiamana jika kasus Reynhard Sinaga terjadi di Indonesia?
"Walaupun kasus Reynhard Sinaga ini sudah lama berlalu, sudut pandang dalam perspektif hukum pidana Indonesia perlu dilakukan," tulisnya.
Baca juga: Reynhard Sinaga, "Peter Pan", dan Predator Seks Tampan Ted Bundy
Jika ditinjau dalam terminologi hukum pidana indonesia, istilah "pelecehan seksual" tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melainkan "perbuatan cabul".
Modus operandi dalam kasus ini adalah pelaku melakukan aksinya pada saat para korban dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
"Jika dilihat dalam rumusan RUU-KUHP yang sampai saat ini belum disahkan, ketentuan perkosaan diatur pada bagian ketiga Pasal 480 ayat (3)," tulis Kompasianer Alfikri Lubis.
Sedangkan dalam RUU-KUHP, lanjutnya, sanksi pidanaya berupa pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, tapi yang menarik dari kasus ini adalah jumlah korbannya sangat banyak.
Akan tetapi, jika menilik rekam jejak pendidikan yang dilalui oleh Reynhard Sinaga, justru Kompasianer Agil S. Habib melihat bahwa dia sosok yang cerdas atau memiliki tingkat intelegensi mumpuni, setidaknya secara akademis.
"Namun di balik kecerdasan intelektual yang ia miliki ternyata hal itu tidak dibarengi oleh kemampuan mengelola hasrat, syahwat, dan moralitas yang baik pula," lanjutnya.
Baca juga: Menguak Akar LGBT dari Sudut Pandang Hipnoterapis
Oleh karena itu, Kompasianer Agil S. Habib berpendapat bahwa pendidikan tinggi dan intensitas beribadah semestinya selaras dengan nilai-nilai moral dan etika.
Mengutip dari Daniel Goleman, seseorang yang cerdas secara emosi adalah mereka yang mampu memadukan kecerdasan didalam dirinya untuk mengelola emosi yang dimiliki.
"Spiritualitas bukan sebatas kita merutinkan diri menjalani ritual ibadah, tetapi hal itu juga harus diimplementasikan dalam tindakan nyata," tulis Kompasianer Agil S. Habib.
Dokter Andri membuat tulisan menarik untuk menjelaskan apakah seorang homoseksual memang biasa dan bisa berbuat kejam?
"Dia melakukan itu karena dia orang yang jahat, kebetulan aja orientasi dia homoseksual. Sama aja ada heteroseksual memperkosa anaknya sendiri, sama-sama jahat!" tulis Dokter Andri.
Organisasi kumpulan para dokter di seluruh dunia juga menganggap homoseksual sebagai varian alami orientasi seksual manusia (sumber: wma.net).
Sejak kasus Ryan Jombang hingga Reynhard Sinaga, pelajaran apa yang bisa kita dapat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H