Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Dari Melarnya Pasal UU ITE, Media Sosial Bisa Mengacaukan Kita

21 Februari 2021   04:12 Diperbarui: 21 Februari 2021   15:22 1113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi UU ITE. (sumber: Kompas.com/Wahyunanda Kusuma)

Awalnya Presiden Joko Widodo telah memberi sinyal jika UU ITE tidak memberikan rasa aman dan keadilan, maka pihak pemerintah bersama DPR untuk merevisinya.

Wacana revisi UU ITE pun bergulir. Besar harapannya jika pasal-pasal yang dianggap "karet" pada Undang-Undang tersebut diubah.

Karena, mulanya memang UU ITE dibuat untuk mengatur ketertiban dan keamanan transaksi elektronik dan masuk ke dalam ranah perdata.

Terlebih, UU ITE hadir untuk menjaga ruang digital Indonesia agar lebih bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif.

Sebenarnya apa yang menjadi harapan masyarakat bila UU ITE ini jadi direvisi?

Selain itu masih ada konten terpopuler dan menarik lainnya di Kompasiana dalam sepekan, seperti kritik estetik ala emak-emak hingga bagaimana kita bisa menyikapi pajak mobil 0 persen.

Berikut 5 konten yang populer dalam sepekan:

1. Jejak UU ITE: dari Prita hingga Ariel, dari Curhat hingga Kritik

Jika kita tengok ke belakang tatkala UU ITE diterbitkan, tulis Kompasianer Khrisna Pabichara, sudah banyak pihak yang menyayangkan, bahkan mempertanyakan, beberapa pasal dalam UU ITE yang ditengarai dapat melar sesuai persepsi penafsir.

"Itu sebabnya disebut "pasal karet". Pasal itu di antaranya mencakup tentang pencemaran nama baik," lanjutnya.

Turunan UU ITE pun tidak menguraikan dengan jelas apa saja yang tergolong pencemaran nama baik, bilamana seseorang dianggap mencemarkan nama baik orang lain, dan bagaimana dampak dari pencemaran nama baik itu.

Inilah yang menjadi perhatian khusus Kompasianer Khrisna Pabichara, sejak lahir pada 2008, UU ITE telah menjadi jerat setan bagi banyak pihak.

"Tidak pandang bulu. Mau tenar mau kagak, semua orang bisa digelandang ke kantor polisi gara-gara UU ITE," tulisnya. (Baca selengkapnya)

2. Berkubang Cantik, Kritik Estetik ala Emak-emak

Apa yang terpikir olehmu ketika ingin melakukan protes dengan adanya jalanan yang berkubang? Menanam pohon pisang? Menutupnya dengan tulisan tututan untuk segera diperbaiki?

Coba longok apa yang dilakukan Ummu Hani di Lampung: berpose bak model profesional di kubangan.

Kotor itu baik, begitu kesan yang didapat oleh Kompasianer David Abdullah.

"Sebuah jargon kuno yang agaknya dipahami dengan sangat brilian oleh Hani. Bisa jadi dari situ ia memanen inspirasi dalam melakukan ritual protes dengan cara yang amat estetik dan tidak kaleng-kaleng," tulisnya. (Baca selengkapnya)

3. Inilah Mengapa Media Sosial Mengacaukan Kita

Kompasianer Andi Firmansyah sungguh mengapresiasi niat mulia dari para pionir media sosial, mereka ingin semua orang bisa mengenal dan berempati terhadap pemahaman yang lebih besar.

Media sosial mendatangkan banyak manfaat bagi kita dalam berbagai aspek.

Akan tetapi kali ini Kompasianer Andi Firmansyah ingin mengajak kita sedikit melihat sisi lain dar media sosial yang tidak tampak dan hanya dilihat indah-indahnya saja.

"Karena postingan orang-orang di media sosial selalu diseleksi, maka media sosial tidak memberikan gambaran realitas hidup yang seimbang, tetapi cenderung ke hal-hal yang positif saja," tulisnya. (Baca selengkapnya)

4. Dear Fresh Graduate, Jangan Sepelekan "Cover Letter" dalam Melamar Kerja

Dalam melamar pekerjaan ada beberapa dokumen yang harus disertakan seperti, curriculum vitae, resume, cover letter, fotokopi ijazah terakhir, dan berbagai sertifikat pendukung lainnya.

Namun, dari beragam dokumen yang disertakan itu,  Kompasianer Sigit Eka Pribadi melihat ada satu dokumen yang kerap kali disepelekan oleh pelamar: cover letter.

"Ya, sepintas sih memang hampir sama saja, tapi jelas berbeda banget, karena di antara cover letter, CV, dan resume itu berbeda fungsi dalam hal menyampaikan maksud dan tujuan," tulisnya.

Cover letter itu, lanjutnya, merupakan surat pengantar lembar CV dan resume yang berisi tentang tujuan dari pelamar kerja.

Isinya berupa alasan ingin melamar kerja di suatu kantor, yang umumnya berisi tentang respon, motif, sebab, alasan dan jawaban pelamar kerja. (Baca selengkapnya)

5. Begini Cara Bijak Menyikapi Pajak Mobil 0 Persen

Apa tanggapanmu terkait kebijakan pemerintah terkait pajak mobil baru sebesar 0 persen?

Melanjutkan keterangan resminya, Menko Perekonomian mengatakan bahwa pajak stimulus ini akan mulai berlaku pada 1 Maret 2021.

Kompasianer Meirri Alfianto mengajak kita untuk melihatnya secara objektif terkait pajak mobil 0 persen tersebut.

"Jika melihat sasarannya, di mana pemerintah memberikan relaksasi bagi kendaraan yang memiliki kandungan lokal 70 persen, maka secara otomatis akan berdampak pada peningkatan perekonomian nasional," tulisnya. (Baca selengkapnya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun