Awalnya Presiden Joko Widodo telah memberi sinyal jika UU ITE tidak memberikan rasa aman dan keadilan, maka pihak pemerintah bersama DPR untuk merevisinya.
Wacana revisi UU ITE pun bergulir. Besar harapannya jika pasal-pasal yang dianggap "karet" pada Undang-Undang tersebut diubah.
Karena, mulanya memang UU ITE dibuat untuk mengatur ketertiban dan keamanan transaksi elektronik dan masuk ke dalam ranah perdata.
Terlebih, UU ITE hadir untuk menjaga ruang digital Indonesia agar lebih bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif.
Sebenarnya apa yang menjadi harapan masyarakat bila UU ITE ini jadi direvisi?
Selain itu masih ada konten terpopuler dan menarik lainnya di Kompasiana dalam sepekan, seperti kritik estetik ala emak-emak hingga bagaimana kita bisa menyikapi pajak mobil 0 persen.
Berikut 5 konten yang populer dalam sepekan:
1. Jejak UU ITE: dari Prita hingga Ariel, dari Curhat hingga Kritik
Jika kita tengok ke belakang tatkala UU ITE diterbitkan, tulis Kompasianer Khrisna Pabichara, sudah banyak pihak yang menyayangkan, bahkan mempertanyakan, beberapa pasal dalam UU ITE yang ditengarai dapat melar sesuai persepsi penafsir.
"Itu sebabnya disebut "pasal karet". Pasal itu di antaranya mencakup tentang pencemaran nama baik," lanjutnya.
Turunan UU ITE pun tidak menguraikan dengan jelas apa saja yang tergolong pencemaran nama baik, bilamana seseorang dianggap mencemarkan nama baik orang lain, dan bagaimana dampak dari pencemaran nama baik itu.
Inilah yang menjadi perhatian khusus Kompasianer Khrisna Pabichara, sejak lahir pada 2008, UU ITE telah menjadi jerat setan bagi banyak pihak.