Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, Senin (8/2/2021) meminta agar masyarakat lebih aktif mengkritik dan memberi masukan pemerintah.
Atas pernyataan itulah yang kemudian akhirnya publik merespon dengan beragam opini karena ternyata justru terjadi penangkapan maupun dirundung kala menyampaikan kritik tersebut.
Perdebatannya dimulai dari mana yang bisa dikategorikan kritik dan mana pencemaran nama baik, ataupun sekadar menyampaikan kekecewaan saja. Ketiganya berbeda, tinggal bagaimana kita melihatnya, bukan?
Apalagi ketika medium untuk menyampaikan pendapatnya bisa dilakukan di media sosial, tapi sering kali terbentuk dengan UU ITE yang kadang disalahgunakan.
Selain ramai-ramai membicarakan pemerintah yang ingin menerima kritik dan masukan dari masyarakat, masih ada konten terpopuler dan menarik lainnya di Kompasiana dalam sepekan.
1. Tips Sukses Mengkritik Tanpa (Takut) Dipidana
Menanggapi pro kontra yang terjadi atas keinginan Pemerintah mendapat kritik dari masyarakat, Kompasianer Uli Hartati membuka tulisannya dengan pertanyaan menarik: apakah kritik sama dengan komplain?
Kritik yang menyinggung personal, tulisnya, bukanlah sebuah kritikan melainkan penghinaan atau perbuatan tak menyenangkan.
Dari banyak kritik yang disampaikan kepada Pemerintah maupun instansi swasta, Kompasianer Uli Hartati merangkumnya menjadi 8 poin.
"Cari Tahu Masalahnya, ketika kalian merasa tidak puas terhadap pelayanan maka jangan keburu emosi. Tarik nafas dan cari tahu dengan detail apa sih masalahnya sehingga kalian kecewa?" lanjutnya, untuk poin pertama dari kedelapan cara yang bisa digunakan untuk mengkritik. (Baca selengkapnya)
2. Pilih Mana, Jenjang Pendidikan atau Pengalaman Kerja?
Di antara kedua aspek yang perusahaan gunakan untuk merekrut karyawan baru, kira-kira mana yang jadi poin utama: status pendidikan atau pengalaman kerja?
Hal tersebut tiba-tiba tersebersit dalam pikiran Kompasianer Novi Setyowati ketika ingin melanjutkan S2 dan bingung ingin memilih yang mana.
"Kan jenjang pendidikan semakin tinggi, seharusnya kualifikasi diri pun menjadi bertambah, kesempatan juga semakin terbuka," tulisnya.
Lantas apa pertimbangan yang tepat maupun bijak jika kita juga berada pada posisi tersebut? (Baca selengkapnya)
3. Apakah 4 Alasan Ini yang Membuat Seseorang Kebelet Ingin Segera Menikah?
Pernikahan itu merupakan keinginan dan hidup bersama dengan orang yang tepat untuk bisa saling mencintai dan dicintai.
Tapi, apakah untuk bisa berlanjut dari jenjang pacaran untuk menikah hanya membutuhkan itu? Adakah alasan yang mendasarinya?
Kompasianer Desy menjelaskan 4 faktor pendukung yang menjadi alasan orang-orang ini begitu ingin cepat menikah. Semisal: karena melihat teman sudah menikah.
"Sangat tidak mengherankan lagi bila melihat teman-teman satu angkatan mulai menikah, keinginan yang sama pun akan cepat datang," tulis Kompasianer Desy. (Baca selengkapnya)
4. Mus Mulyadi, The King of Keroncong, dan Kenangan Ngamen di Tunjungan
Kompasianer Agus Wahyudi menceritakan pengalaman sekali waktu berkesempatan untuk mendampingin latihan The King of Keroncong, Mus Mulyadi atau yang biasa disapa Cak Mus.
"Ada banyak penyanyi keroncong di negeri ini. Tapi, bagi saya, yang fenomenal adalah Mus Mulyadi alias Cak Mus," tulisnya.
Jadi, pada tahun 2006 Cak Mus datang ke Surabaya untuk mengisi acara "Konser Pulang Kampung" di Balai Pemuda.
Pada konser tersebut tidak hanya menampilkan Cak Mus, tetapi juga ada  Arie Koesmiran, Ita Purnamasari, Mus Mujiono, Franky Sahilatua, dan Usman Bersaudara.
Setibanya di tempat latihan Cak Mus tersenyum, mengambil kursi lipat, dan meraik mic di atas panggung.
"Cak Mus memilih menyanyi sambil duduk. Dia minta intro lagu Rek Ayo Rek," lanjutnya mengenang itu. (Baca selengkapnya)
5. Matoa, Buah Lokal yang Lagi Naik Daun
Ada yang tahu atau pernah mencoba buah Matoa?
Meski belum sepopuler kelengkeng, leci, atau rambutan, tapi buah yang tumbuh di Papua ini kini tengah jadi perbincangan banyak orang.
Matoa merupakan nama tanaman buah asli Papua. Meski demikian buah matoa bisa kita temukan di daerah lain seperti Maluku, Sulawesi dan negara Papua New Guinea.
"Sebagian masyarakat kita juga telah menjadikan matoa sebagai tanaman produktif pengisi halaman (pekarangan) rumah," tulis Kompasianer Mawan Sidarta. (Baca selengkapnya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H