Meromantisasi kejadian sepanjang 2020 kemarin, barangkali, jadi ladang subur bagi para penulis fiksi.
Kesunyian, kesendirian, dan semua keadaan yang memadai untuk diolah sebagai cerita fiksi yang bisa jauh lebih dalam untuk mengenal diri sendiri maupun lingkungan.
Tidak ada keceriaan hari ini, tidak ada kesedihan yang ingin diulang dari kemarin.
Kami persembahkan 20 konten fiksi yang paling banyak dibaca selama 2020, kemarin.
Pantun yang dibuat oleh Kompasianer Idris Apandi ini membuat kita ingin tersenyum dan bersedih secara bersamaan. Bayangkan, betapa getir ia menulis bait pantun ini: Ke toko bunga membeli mawar/Mawar disiram supaya segar/Virus disebar lewat kelelawar/Orang makan terus menggelepar
2. Tumbal Pesugihan
Kira-kira sebulan sebelum hallowen, Kompasiana dibanjiri banyak sekali konten hal-hal mistis, termasuk di antara konten fiksi. Konten dari Kompasianer Lilik Fatimah Azzahra inilah yang paling banyak dibaca: [Cerpen] Tumbal Pesugihan.
3. Cerpen | Corona, Oh Corona
Kompasianer Hastira Soekardi merefleksikan keadaan pandemi lewat karya cerpennya yang berkisah akan ketakutan yang bermula dari kabar yang simpang-siur. Amat menarik!
4. Cerpen | Belajar dari Rumah Karena Covid-19
Cerpen yang dibuat oleh Kompasianer Zahra Firlia ini dibuat dengan pusat cerita --atau kalimat, bahkan-- yang sederhana, tapi mengena: Banyak orang yang mengeluh karena banyaknya tugas.
5. Pantun Nasihat Menjaga Diri dari Virus Covid-19
Ada beragam cara untuk mengedukasi orang-orang, asal kita tahu sasaran yang hendak dituju. Sebagaimana Kompasianer Nurlaeli Mutamariah lewan pantunnya agar tetap bisa jaga diri.
6. Pantun Nasihat Terkait Virus Corona
Pantun yang dibuat Kompasianer Wiwin Zein tentang nasihat jaga diri sungguh menarik. Rima dan diksinya, jika ditambah musik, bisa jadi lagu yang asyik. Simak penggalannnya: Aladin berkayuh sampan sendiri/Meluncur cepat untuk berlabuh/Selain makanan yang bergizi/Berjemur tingkatkan imunitas tubuh
7. Puisi | Anak Kecil di Dalam Pesawat
Kisah tentang anak yang diceritakan Kompasianer Peter Jeandrie bisa dibaca sebagai kritik kepada orang dewasa yang dianggap serba-tahu-segalanya. Kadang seperti itulah kita.
Yang menarik dari pandemi bagi penulis fiksi, barangkali, mereka bisa memainkan hal yang menakutkan dengan cara mengindahkan.
Simak bait puisi tentang corona yang ditulis Kompasianer Nur Alam Ali: Semua tidak ada yang kebetulan/Tuhan pasti punya rencana yang sudah digariskan/ada sebuah misteri yang kadang disisipkan Tuhan/agar kita sadar Tuhan punya peran
9. Puisi | Pahlawan Medis, Covid-19
Jika kalian lelah, beristirahatlah/Namun jangan pernah berhenti./Karena pekerjaan belum selesai. Bait itu ditulis Kompasianer Adelbertus adalah semangat kita yang mesti dijaga selama pandemi yang tidak tahu kapan akhirnya.
Singkat, jelas, dan ada sedikit jenaka, begitulah pantun yang ditulis Kompasianer Salma Afwanisa ini: Yayu bersua Ikah bermanja/Si tikus kecil datang tiba-tiba/Yuk semua di rumah aja/Si virus kecil ada di mana-mana
Kegelapan yang digambarkan Kompasianer Peter Jeandrie diasosiakan kepada sesosok "bayangan". Ketakutan seperti apa yang kemudian kamu bayangkan ketidakmenentukannya ini?
12. Mariposa
Novel mariposa ini mengisahkan tentang seseorang perempuan yang bernama Natasha Kay Loovi atau Acha yang memperjuangkan cintanya.
13. Puisi | Ini Aku
Kompasianer Elsa Valent punya cara unik dalam mengenalkan diri lewat puisi. Atau, ada yang merasa sepertinya juga jika digambarkan sebagaimana larik ini: seperti inilah aku/bersembunyi dalam remuk di balik senyum
14. Sajak/Puisi Sunda Corona (Covid-19)
Untuk orang yang mengerti Bahasa Sunda, barangkali, puisi yang ditulis Kompasianer Salma Afwanisa akan paham betapa virus covid-19 ini mesti sama-sama dilawan bersama. Tapi jika tidak mengerti, puisi tersebut bisa dinikmati keindahannya: karena permainan rima yang bagus.
Ada cara terbaik mengenal diri sendiri, yakni coba bertanya pada diri sendiri pula seperti puisi yang ditulis Kompasianer Riski Rosalie. Dengan begitu, kita bisa tahu bagaimana bersikap dengan orang lain.
16. Puisi | Requiem Sang Ksatria
Kompasianer Elsa Valent menuliskna puisi yang sedih tentang seorang yang sudah lelah dan berjuang. Karena kita mungkin akan mengenang dengan cara yang berbeda, tapi rasa sedih tetaplah sama.
17. Puisi | Maukah Kau Mengenalku?
Puisi yang romantis tidak perlu puitis; tapi nafasnya selalu sama sebagaimana yang dibuat oleh Kompasianer Peter Jeandrie: Sementara membekunya waktu kenalilah aku/Sementara detik terhenti ingatlah padaku
18. Puisi | Kapalku Berlayar Menuju Pulaumu
Apa caramu mendekati seseorang yang dicintai seperti puisi yang ditulis Kompasianer Peter Jeandrie ini: Ada kalanya kau seperti pulau tanpa mercusuar/Aku tersesat di permukaan laut malam
19. Puisi | Bertemu di Tengah
Pertamuan seperti apa yang kamu inginkan jika satu waktu mesti bertemu dengan seorang yang lama kau tunggu? Kompasianer Riski Rosalie ingin agar "bintang-bintang pun dapat mendengarnya/Dan kau pun tahu aku pun berlari ke arahmu".
20. Puisi | Hidup di Balik Topeng
Kepura-puraan seringkali jadi tema yang sudah umum diambil oleh penulis fiksi. Kompasianer Peter Jeandrie juga melakukan hal yang sama, tapi tentu saja dengan pengahayatan yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H