Siapa bisa menyangka bila Pemilu Amerika 2020 dapat memecahkan rekor perolehan suara dalam seabad pelaksanaannya?
Meski kita juga tahu, banyaknya pemilih dan jumlah ketepilihan tidak berbanding lurus dengan hasil Pemilu di Amerika karena masih ditentukan juga oleh electoral collage.
Jadi, sebagaimana pilpres AS sebelumnya, kemenangan bukan ditentukan oleh suara publik (popular vote) tapi Electoral College (Dewan Elektoral).
Oleh karena itulah Electoral College yang sebenarnya menentukan siapa presiden dan wakil presiden baru AS.
Namun, siapapun pemenangnya, kedua basis massa kandidat ini sungguh besar. Fanatisme, itulah yang ditakutkan pada Pemilu Amerika kali ini, sebab berdampak pada pemecah belah bangsa.
Selain Pemilu AS, masih ada ragam konten terpopuler dan menarik lainnya di Kompasiana pada pekan ini seperti kabar duka dari dunia perwayangan: Dalang Ki Seno Nugroho meninggal pada Selasa (3/11/2020) malam hingga tip lulus CPNS tahun depan.
1. Mengapa Masyarakat Amerika Mencintai Trump?
Semenjak menduduki kusi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump tidak habisnya mendapat kritik dari dalam maupun luar negeri atas kepemimpinannya.
Hanya saja, seperti kita tahu, begitu masif dan banyak pendukungnya. Bagi mereka, Donald Trump bukanlah politisi sementara alias politisi dikontrol oleh partainya.
"Trump adalah satu-satunya orang yang mendeklarasikan bahwa ia bukanlah politisi bayaran. Trump menyuarakan apa yang masyarakat Amerika pikirkan. Trump sosok yang berani dan kuat (strong and powerful)," tulis Kompasianer Doddy Salman.
Oleh karena itu, para pendukungnya percaya: selama kepempinan Trump maka akan bisa membuat Amerika kembali berjaya. (Baca selengkapnya)
2. Ketika "Telantar" di Negeri Orang, Siap-siap Biaya Tak Terduga
Kompasianer Hennie Triana paham betul kelakar "belum lengkap suka dukanya jadi pegawai penerbangan jika belum "stranded" di luar negeri."