Kita tahu, pada tahun-tahun tersebut, di Aceh baru saja mengalami tragedi besar: tsunami.
Pengalaman saat menjadi Perawat Jiwa di komunitas tentu saja berbeda dengan pengalaman merawat ODGJ di Rumah Sakit Jiwa.
Kompasianer Ismuziani Ita ingat, ketika itu sedang memberikan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Risiko Prilaku Kekerasan (di rumah pasien) dan pasiennya terus saja marah; tidak bisa diam.
Sayangnya orang-orang melihat pekerjaannya itu alih-alih untuk mengkhawatirkan, justru menyakitkan, seperti: Kamu gak takut sama orang gila?
"Jangan sebut mereka gila," sanggahnya pada mereka yang sering bertanya padanya. "Sebut mereka orang dengan gangguan jiwa." (Baca selengkapnya)
5. Jadi Relawan Kok Malah Curhat?
Kompasianer Gones Saptowati paham dari mana permintaan itu berasal, karena sebagai relawan mereka diasumsikan layaknya superhero, penolong bagi umat manusia.
Ya, para relawan ini rela meninggalkan aktivitas kuliah, pekerjaan, keluarga, organisasi yang dinaungi berhari-hari bahkan sampai berbulan-bulan apabila bencana datang.
"Relawan juga sama seperti manusia pada umumnya, Ia memiliki resiko sama besar dengan penyintas pada umumnya," tulis Kompasianer Gones Saptowati.
Pertemuan korban yang mengalami trauma secara intens, beban kerja yang berlebihan serta banyaknya kasus yang harus ditangani bisa berdampak stres pada relawan atau bahkan relawan sendiri bisa mengalami vicarious trauma.