Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenangan Pahit Tragedi Bom Bali I hingga Lemahnya Kekuatan Politik Petani

14 Oktober 2020   04:30 Diperbarui: 14 Oktober 2020   14:01 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 12 Oktober 18 tahun lalu, peristiwa kelam yang dikenal sebagai Tragedi Bom Bali I mengejutkan publik Indonesia dan dunia. Peristiwa tersebut masih menyisakan pilu dan bayangan kenangan pahit meski sudah lewat lebih dari satu dekade.

Kompasianer SH Tobing yang saat itu berada kurang lebih 1 km dari lokasi kejadian pun menceritakan kembali memori-memori kekacauan di sana. Masyarakat Bali tentu terpukul saat itu. Namun mereka bangkit hingga kemudian Pulau Dewata kembali jadi destinasi wisata favorit wisatawan.

Penuturan kisah tersebut bisa disimak kembali bersama artikel-artikel terpopuler lainnya di bawah ini:

Mengenang Teror Bom Bali 12 Oktober 2002

Di depan tugu kenangan Bom Bali (FOTO ANTARA/Nyoman Budhiana)
Di depan tugu kenangan Bom Bali (FOTO ANTARA/Nyoman Budhiana)
Melupakan peristiwa Bom Bali 2002 memang tidak mungkin, tetapi bukan hanya kekejaman dan kebiadaban para teroris yang terbayang di pikiran dan mata saya.

Sikap orang Bali yang terus tegak berdiri, tidak tersulut provokasi serta dukungan yang luar biasa dari seluruh bangsa Indonesia menjadi kenangan manis bagi saya. (Baca selengkapnya)

Petani Tulus Itu Beramal Bukan Penerima Sembako

Ilustrasi | Duc Nguyen Van/Pixabay via KOMPAS.com
Ilustrasi | Duc Nguyen Van/Pixabay via KOMPAS.com
Petani di negeri ini identik dengan penderitaan karena mahalnya bibit, pupuk, serta iklim dan harga hasil pertanian yang tidak menentu. Harga yang tidak menentu itu membuat biaya panen pun tidak cukup jika hasilnya dijual.

Pada beberapa kasus, ketidakstabilan harga jual berbuntut protes petani dengan cara membuang hasil pertanian. Padahal ada cara yang lebih baik, misalnya diamalkan. (Baca selengkapnya)

"Lonteku", Adrenalin Muda, dan Penyesalan Iwan Fals

Sampul album kaset Iwan Fals (Dok. Arif Rahman)
Sampul album kaset Iwan Fals (Dok. Arif Rahman)
Ada sejumlah cerita menarik yang bisa dipelajari dari proses penciptaan lagu Iwan Fals, salah satunya "Lonteku". Ada satu momen yang membuat Iwan Fals menyesali terciptanya lagu ini, pun dengan sang istri. (Baca selengkapnya)

Jadi Relawan Kok Malah Curhat?

ilustrasi menjadi seorang relawan. (sumber: Thinkstock via kompas.com)
ilustrasi menjadi seorang relawan. (sumber: Thinkstock via kompas.com)
Saat menjadi relawan kebencanaan (alam atau non-alam), Anda bertugas untuk membantu menolong para penyintas sesuai bidangnya masing-masing.

Fisik dan psikologis haruslah prima. Jika tidak, Anda bisa terkena yang namanya vicarious trauma, efek dari terlalu banyak terpapar kecemasan saat menjalankan tugas. (Baca selengkapnya)

Kala Menyantap Mie Ayam Tanpa Gerobak dalam Gang

Gambar semangkuk mi ayam (Dok. Budi Susilo)
Gambar semangkuk mi ayam (Dok. Budi Susilo)
Ada hal-hal yang mesti diperhatikan jika ingin bergelut dalam usaha mie ayam, bakso, atau keduanya. Mulai dari perolehan bahan-bahan hingga cara pengolahan dan penyajian yang diharapkan dapat menggugah selera konsumen. (Baca selengkapnya)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun