Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Hari Tani Nasional, Wacana Lumbung Pangan Dunia 2045 dan Eksistensi Petani Muda

24 September 2020   18:58 Diperbarui: 24 September 2020   19:01 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi petani (Foto: Pixabay/DEZALB)

Masyarakat Indonesia memperingati Hari Tani Nasional setiap tanggal 24 September. Momentum ini ditetapkan sejak masa pemerintahan Presiden Sukarno yang ditandai dengan penerbitan Keppres No 169/1963.

Sayangnya beberapa tahun terakhir tidak ada "selebrasi" yang selayaknya dilakukan para petani. Simak saja di beberapa media, mereka justru melancarkan aksi demo di berbagai daerah, termasuk di depan Gedung DPR RI, membawa bermacam isu sosial yang mereka alami.

Pemerintah sendiri sejak 2017 mencanangkan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia di tahun 2045. Sudah selaraskan wacana dengan realisasinya sejauh ini?

Bagaimana pangan kita bisa mencukupi kebutuhan untuk nasional bahkan dunia, tentunya ada kompleksitas yang juga harus dibenahi. Misalnya soal ketersediaan lahan maupun yang utama yaitu kesejahteraan dan regenerasi petani.

Kompasianer Reni Dwi Anggraini menganggap wacana Indonesia menjadi lumbung pangan dunia pada 2045 mendatang seperti sebuah ironi. Ia yang besar dari lingkungan petani menyadari bahwa hari ini industri yang sudah masuk ke desa-desa membuat lahan pertanian menyempit.

"Sebagai anak dari seorang petani, aku paham betul bagaimana sepak terjang kedua orangtuaku di dunia pertanian. Maka tidaklah heran jika melihat fenomena petani berlomba-lomba untuk menjual atau menyewakan lahan pertaniannya, guna mendapatkan keuntungan yang jauh lebih tinggi," tuturnya.

Di antara permasalahan pelik yang dirasakan petani, Reni menyebut hal mendasar seperti akses terhadap pupuk juga semakin sulit, seperti yang dialami oleh orangtuanya. (Baca Selengkapnya)

(Foto: Dok. Kementan via KOMPAS.com)
(Foto: Dok. Kementan via KOMPAS.com)
Tantangan makin terasa ketika tahun ini dunia mengalami pandemi Covid-19 yang disinyalir berimbas pada krisis pangan. Presiden Jokowi pada Rapat Terbatas Kabinet di Istana Bogor, 28 April lalu, membahas antisipasi kebutuhan bahan pokok ini dan menginstruksikan kementerian terkait untuk membuka lahan persawahan baru.

Kompasianer Felix Tani dalam artikelnya mempertanyakan tujuan cetak sawah baru (ekstensifikasi) ini. Jika untuk jangka pendek yaitu sebagai mitigasi risiko defisit persedian pangan di masa pandemi, hal itu bukan solusi karena butuh waktu panen yang tak sebentar. Belum lagi jika perkiraan kekeringan ekstrem terjadi.

Bacaan Terkait: Petani dan Pasar yang Masih Gelisah

Ada kesan permintaan Presiden Jokowi itu terkait pemenuhan janjinya pada 2014 yang ingin mencetak sawah 1 juta hektar di mana sampai saat ini mencapai target.

Felix Tani menyatakan solusi yang lebih relevan untuk mitigasi krisis pangan ini adalah intensifikasi, peningkatan produktivitas pangan secara signifikan di atas areal baku yang sudah ada.

"Untuk itu dapat dibangun sinergi Kementan dan BUMN mendukung program intensifikasi pertanian padi sepanjang rantai pasok. Program itu harus terintegrasi sejak dari hulu (pupuk dan pestisida), ke tengah atau on-farm (benih, teknologi budidaya, dan manajemen), sampai ke hilir (pengolahan, logistik, dan pemasaran)." (Baca selengkapnya)

Di saat para stakeholder menyiasati ketersediaan pangan nasional, para petani kala pandemi terus bekerja keras di ladang, tak mengenal Work from Home seperti anjuran pemerintah kepada para pekerja.

Kompasianer Lilian Kiki Triwulan melaporkan aktivitas petani di daerahnya, Purbalingga. Stok di sana relatif aman, khususnya beras, karena pemerintah daerah mendukung dari mulai menanam sampai memanen.

"Semangat para petani demi menjaga ketahanan pangan negeri memang perlu diapresiasi. Tanpa mereka, stok pangan akan terguncang dan masyarakat akan kelabakan." (Baca selengkapnya)

(Foto: Kompasianer Lilian Kiki Triwulan)
(Foto: Kompasianer Lilian Kiki Triwulan)
Bacaan terkait: Petani, Pahlawan Ketahanan Pangan di Negeri Salah Urus

Terkait perjuangan itu, dalam sejarahnya petani memang merupakan salah satu profesi yang menyangga kerjaan-kerajaan penakluk hingga terbentuknya Indonesia. Peran mereka vital sebagai asset bangsa, kata Kompasianer Luqman Hakim.

Lalu apakah perjuangan ini didukung dengan regenerasi yang optimal? Sepertinya belum.

Jika definisi petani muda adalah yang berusia 16-30 tahun, maka jumlahnya masih kurang banyak. Hasil Sensus Pertanian 2013 mencatat petani dalam rentang usia 1-6-30 tahun sekitar 3 jutaan orang. Hanya 10 persen jika dibanding dengan petani dengan rentang usia di atasnya.

"Para pemuda lebih memilih melakukan urbanisasi untuk meningkatkan taraf hidup karena pekerjaan sebagai petani dianggap sebagai pekerjaan kotor dan kurang menjanjikan."

Menurut Luqman, harus ada persepsi yang diubah apalagi saat ini kita hidup di zaman modern. Pertanian dengan ideologi modern dan peralatan modern harus dibangun untuk meningkatkan keberlanjutan kehidupan manusia. (Baca selengkapnya)

Hal senada diungkapkan Kompasianer Vina Fitrotun Nisa dalam artikelnya. Ada pandangan yang harus diubah mengenai definisi petani. Petani tak melulu berkutat dengan ladang atau sawah, juga tak terbatas dalam lingkup subsisten dan nonsubsisten. Dengan begitu citra petani akan berubah.

Ada konsep menarik yang dibahas Vina, yaitu agroboy dan agrogirl. Ini adalah konsep petani bagi mereka yang bercocok tanam, baik itu yang mengomersilkan hasilnya atau tidak. Semua itu harus dikenalkan sejak dari sekolah hingga dewasa.

"Kaderisasi agroboy dan agrogirl dapat dilakukan di sekolah dalam pelajaran lingkungan hidup. Dengan mempersiapkan pengetahuan dan kewaspadaannya sejak dini, mereka akan terstimulasi dan termotivasi untuk membuat sebuat terobosan bagi kemajuan pertanian." (Baca selengkapnya)

(Foto: Kompasianer Suradin)
(Foto: Kompasianer Suradin)
Hal yang tak kalah penting selain regenerasi tentu kesejahteraan petani. Kita mungkin sudah sering dihadapkan pada kasus di mana para petani justru harus menjual rugi hasil panennya dengan berbagai alasan.

Jika tak banyak mendapat perhatian pemerintah, saatnya para petani itu sendiri yang bersiasat menjaga perekonomiannya. Kompasianer Reba Lomeh menawarkan solusi alternatif agar petani tidak salah mengelola keuangan seusai menjual produk pertanian, salah satunya investasi.

"Sarana investasi di bidang produksi ini sangat dianjurkan. Hal ini tentunya masih berkaitan dengan penyediaan alat-alat pertanian dalam mendukung pengolahan lahan hingga pascapanen. Semisalkan dengan membeli traktor, mesin perontok dan penggiling, bajak subsoil dan lain-lain." (Baca selengkapnya)

Bacaan terkait: Masa Depan Pertanian Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun