Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Masyarakat Perlu Dilibatkan dalam Implementasi Nilai Pancasila

10 Juli 2020   21:15 Diperbarui: 26 Agustus 2020   17:15 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS), Jamal Wiwoho menyampaikan pendapatnya tentang Pancasila.

Menurutnya, istilah Pancasila pada jaman Orde Baru sebenarnya bisa dilihat dalam partisipasi publik. Seperti dalam bidang Pendidikan, fakta-fakta terkait nilai-nilai Pancasila bisa terlihat. Namun saat peralihan reformasi nilai-nilai tersebut nampaknya mulai meredup.

Jamal menjelaskan bahwa hal ini membuat cukup banyak yang merasa risau, karena di bidang pendidikan nilai-nilai dalam Pancasila tidak langsung diimplementasikan dengan benar.

"Kalau dulu ada Pendidikan Moral Pancasila atau PMP, dan penjabaran 36 butir Pancasila" tambahnya.

Beliau juga menyebutkan bahwa, "pasca reformasi kita melihat betapa pentingnya nilai-nilai yang dapat diimplementasikan secara langsung dalam kehidupan sekarang, namun nampaknya nilai-nilai tersebut lebih diorientasikan pada nilai kapitalisme, liberalisme dan sebagainya".

Perlunya Implementasi Nilai Pancasila

Jamal berpendapat bahwa dengan Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2018 tentang BPIP, BPIP dapat menjadi wadah sekaligus jawaban atas mendangkalnya pemahaman nilai-nilai Pancasila di masyarakat setelah reformasi.

"BPIP adalah wadah untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang perlunya implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," sambungnya.

Lebih jauh, Ahli Hukum Tata Negara dan Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti menerangkan jika Pancasila itu sebenarnya bukan untuk mengatur perilaku secara khusus, namun lebih kepada menuntun karena sifatnya ideologi, yang merupakan ideal-ideal yang bisa saja diterjemahkan secara terbuka atau bisa diistilahkan dengan ideologi terbuka.

"Karena ini adalah ideologi terbuka, maka akan banyak tantangan mengenai bagaimana memahami Pancasila itu," tegasnya.

Menurutnya, terlepas dari segala kontroversinya, Pancasila memiliki nilai sejarah yang tinggi dan di situ terdapat titik negoisasi bangsa yang sangat sulit dicapai dengan konteks-konteks yang ada sekarang.

Pengaturan Ideologi Pancasila 

Jamal Wiwoho juga mengemukakan pendapatnya bahwa Pembinaan Ideologi Pancasila sebaiknya diatur dalam undang-undang untuk merespon seberapa cepatnya perubahan-perubahan yang ada di dunia, khususnya Indonesia.

Namun beliau juga berharap jika RUU Pembinaan Ideologi Pancasila ini bukan hanya mengatur soal penafsiran nilai-nilai filsafat Pancasila di dalam norma undang-undang.

"Pancasila adalah sumber dari segala hukum, namun ini tidak bisa ditetapkan dalam undang-undang saja tetapi juga perlu ditetapkan dari Undang-Undang Dasar 1945," tegasnya dalam talkshow Titik Pandang yang ditayangkan Kompas TV pada Jumat (10/7).

Jamal menambahkan jika pengaturan ideologi Pancasila harus bisa memastikan bagaimana melakukan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan terhadap Pancasila, bukan menjadikannya sebagai alat dari kekuasaan pemerintah.

Pada kesempatan yang sama, Bivitri juga menyampaikan bahwa dalam tata negara adalah hal yang lazim untuk menguatkan suatu lembaga, dalam hal ini BPIP, dengan undang-undang. Beliau memberikan contoh Komnas HAM yang pada tahun 1993 didirikan dengan Kepres, kemudian didirikan menjadi lembaga dalam undang-undang pada tahun 1998.

Contoh lainnya adalah Ombudsman Republik Indonesia yang awalnya dibentuk oleh Kepres, namun setelah disadari kepentingannya sebagai wadah untuk pelayanan publik, maka dibuatlah dalam undang-undang tentang Ombudsman RI.

"Langkah seperti itu lazim dilakukan dalam konteks tata negara," jelasnya.

Bivitri berpendapat, jika diskusi terbuka pro dan kontra mengenai BPIP perlu dilakukan agar bangsa ini bisa memiliki BPIP yang seperti apa dan bagaimana yang lebih baik.

Beliau juga menambahkan meskipun sosialisasi memang penting, namun diperlukan juga dialog yang lebih masif lagi, serta mendengar dari pihak-pihak yang tidak setuju, lalu didiskusikan lagi secara bersama.

"Sosialisasi bukan sekadar menyampaikan bahwa akan ada RUU PIP, tapi harus ada dialog antar kelompok yang punya suara massa dan daftar argumen yang baik," imbuhnya.

Bavitri juga berharap jika dialog tidak hanya dilakukan di Jakarta, tetapi di Pulau Jawa dan juga pulau-pulau lainnya.

"Semua kelompok harus ikut untuk mendiskusikan Pancasila, jangan sampai bermasalah," ungkapnya. (LKE) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun