Dengan dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara-negara berkembang, maka Amerika Serikat akan memperlakukan Indonesia selayaknya negara maju.
Pernyataan tersebut dikeluarkan oleh United State Trade Represrntative (USTR) pada 10 Februari 2020, yang kemudian berdampak pada Special Differential Treatment (SDT) yang ada dalam kesepakatan WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures tidak lagi berlaku untuk Indonesia.
Sepintas memang ini menjadi isu bisnis saja, antara Amerika Serikat-Indonesia. Pasalnya, kebijakan itu dilakukan pemerintah Donald Trump untuk mengurangi jumlah negara-negara yang selama ini dianggap mendapatkan perlakuan istimewa.
Namun, selain kabar akan status kenegaraan Indonesia, masih ada konten menarik lainnya yang populer di Kompasiana pada pekan kemarin seperti fenomena Ibu Sitti dari KPAI tentang perempuan bisa hamil di kolam renang hingga mitos hidup murah di Jogja.
Berikut 5 artikel menarik dan terpopuler di Kompasiana:
1. Paman Sam yang Menganggap Ibu Pertiwi Sudah Maju
Ketika penetapan status kenegaraan Indonesia sudah dianggap maju oleh Amerika Serikat, seperti halnya Kompasianer Ferguso, kita pasti ingat bagaimana dulu guru kita memberitahu kita bagaimana Indonesia kala itu.
Sepintas, bahkan, dalam bayangan Kompasianer Ferguso bahwa Amerika itu seperti senjata dari seorang pahlawan. yang super.
Negara kita, ingatnya, saat ini adalah negara yang masih tertinggal. Masih banyak masyarakat kita yang belum sekolah dan belum hidup layak.
"Lihat saja di sekitar kalian, anak-anak masih banyak yang tidak ke sekolah. Karena alasan ekonomi," tulis Kompasianer Ferguso. (Baca selengkapnya)
2. Ibu Sitti dan Fenomena "Digital Mob Lynching"
Tidak sulit untuk mencari kontra-produktif dari pernyataan Sitti Hikmawatty, dari KPAI, mengenai perempuan yang bisa hamil di kolam renang.
Kita bisa mencari-cari literatur terkait atau meminta pendapat dari ahlinya mengenai itu. Akan tetapi, yang kemudian tidak terkontrol di media sosial adalah bagaimana warganet melihat sosok Ibu Sitti Hikmawatty.
Atas ramainya keriuhan tersebut, Kompasianer Giri Lumakto melihat ini lazim disebut dengan digital mob lynching (DMLy).
"Agak sulit menjelaskan DMLy. Namun secara umum, DMLy bisa dikatakan mengeroyok seorang tokoh dan sebuah akun beramai-ramai. Kejadian ibu Sitty adalah salah satunya," tulis Kompasianer Giri Lumakto. (Baca selengkapnya)
3. Pendidikan Seks yang Diajarkan Sejak Dini di Sekolah Jerman
Sebenarnya anak-anak di Jerman sejak usia dini telah diajarkan di rumah, juga di Kindergarten, untuk tidak diizinkan siapapun menyentuh bagian tubuh orang lain.
Tidak mudah memang mengajarkan anak tentang pentingnya mengenal fungsi dari organ-organ tubuhnya. Sedikit saja keliru menjelaskan kita bisa diserang pertanyaan-pertanyaan lain yang jauh lebih sulit.
Sama seperti yang dialami oleh Kompasianer Hennie Triana saat anaknya bertanya: dulu aku di dalam perut mama, ya? Bagaimana aku bisa keluar dari sana?
"Untuk masalah sakit ini saya memang sengaja menjawab seperti itu, bukan karena ingin berbohong, tetapi rasa sakit itu relatif dan saya tidak mau bayangan rasa sakit yang amat sangat melekat di pikiran dia," cerita Kompianer Hennie Triana. (Baca selengkapnya)
4. Mitos Harga Serba Murah di Jogjakarta
Sebagai perantau yang kini tinggal di Jogja, Kompasianer Abdul Muamar amat familiar dengan pernyataan ataun pengakuan: hidup di Jogja itu murah, semua serba murah.
Akan tetepai ketika sudah tinggal di sana yang justru dirasakan olehnya malah sebaliknya: Jogja serba murah itu mitos yang harus segera dibuang jauh-jauh.
Pada tulisannya kali ini, secara spesifik Kompasianer Abdul Muamar membahas mengenai harga buah saja, tidak yang lain.
Baik perantau apalagi warga asli, lanjuynya, sudah banyak yang sering mengeluh soal ini. Tidak semua buah, tentu saja, tetapi kebanyakan.
"Yang paling disayangkan adalah harga yang tidak pantas itu bukan harga buah impor yang memang tidak/jarang ditemukan di sini (seperti apel merah, kiwi, pir, prem, dan lain sebagainya), melainkan harga buah-buahan tropis yang tumbuh di mana-mana, seperti pisang kepok, nangka, cempedak, alpukat, dan durian," tulisnya. (Baca selengkapnya)
5. Content Writer, Profesi Kekinian yang Kerap Mengundang Pertanyaan
Sepertinya 5-10 tahun lalu profesi sebagai content writer adalah hal baru. Tidak jarang orang yang tahu dan ingin bekerja seperti itu.
Namun, baru belakangan ini profesi content writer begitu digemari dan dicari. Akan tetapi masih sulit sekali untuk menjelaskan apa saja yang dikerjakan. Sama halnya dengan yang dialami oleh Kompasianer Irene Cynthia Hadi
"Sederet pertanyaan tersebut seringkali menderet ke telinga saya saat harus menjelaskan tentang pekerjaan saya sebagai content writer," tulisnya. (Baca selengkapnya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H