Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

[Populer dalam Sepekan] Klasifikasi Negara Maju Indonesia hingga Mitos Hidup Murah di Jogja

1 Maret 2020   18:18 Diperbarui: 1 Maret 2020   21:08 2888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Atas ramainya keriuhan tersebut, Kompasianer Giri Lumakto melihat ini lazim disebut dengan digital mob lynching (DMLy).

"Agak sulit menjelaskan DMLy. Namun secara umum, DMLy bisa dikatakan mengeroyok seorang tokoh dan sebuah akun beramai-ramai. Kejadian ibu Sitty adalah salah satunya," tulis Kompasianer Giri Lumakto. (Baca selengkapnya)

3. Pendidikan Seks yang Diajarkan Sejak Dini di Sekolah Jerman

Sebenarnya anak-anak di Jerman sejak usia dini telah diajarkan di rumah, juga di Kindergarten, untuk tidak diizinkan siapapun menyentuh bagian tubuh orang lain.

Tidak mudah memang mengajarkan anak tentang pentingnya mengenal fungsi dari organ-organ tubuhnya. Sedikit saja keliru menjelaskan kita bisa diserang pertanyaan-pertanyaan lain yang jauh lebih sulit.

Sama seperti yang dialami oleh Kompasianer Hennie Triana saat anaknya bertanya: dulu aku di dalam perut mama, ya? Bagaimana aku bisa keluar dari sana?

"Untuk masalah sakit ini saya memang sengaja menjawab seperti itu, bukan karena ingin berbohong, tetapi rasa sakit itu relatif dan saya tidak mau bayangan rasa sakit yang amat sangat melekat di pikiran dia," cerita Kompianer Hennie Triana. (Baca selengkapnya)

4. Mitos Harga Serba Murah di Jogjakarta

Sebagai perantau yang kini tinggal di Jogja, Kompasianer Abdul Muamar amat familiar dengan pernyataan ataun pengakuan: hidup di Jogja itu murah, semua serba murah.

Akan tetepai ketika sudah tinggal di sana yang justru dirasakan olehnya malah sebaliknya: Jogja serba murah itu mitos yang harus segera dibuang jauh-jauh.

Pada tulisannya kali ini, secara spesifik Kompasianer Abdul Muamar membahas mengenai harga buah saja, tidak yang lain.

Baik perantau apalagi warga asli, lanjuynya, sudah banyak yang sering mengeluh soal ini. Tidak semua buah, tentu saja, tetapi kebanyakan.

"Yang paling disayangkan adalah harga yang tidak pantas itu bukan harga buah impor yang memang tidak/jarang ditemukan di sini (seperti apel merah, kiwi, pir, prem, dan lain sebagainya), melainkan harga buah-buahan tropis yang tumbuh di mana-mana, seperti pisang kepok, nangka, cempedak, alpukat, dan durian," tulisnya. (Baca selengkapnya)

5. Content Writer, Profesi Kekinian yang Kerap Mengundang Pertanyaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun