Wacana akan dibukanya ekspor benih lobster oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Edhi Prabowo ternyata menuai pro dan kontra.
Bahkan, dari wacana tersebut terjadi adu opini di media sosial. Dari sana kemudian muncul beragam kajian hingga data-data akan penting dan tidaknya ekspor.
Pasalnya, semsa kepemimpinan Susi Pudjiastuti, ia mengeluarkan Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan No. 56 Tahun 2016 tentang penangkapan dan/atau pengeluaran lobster hanya dapat dilakukan jika lobster tidak dalam kondisi bertelur.
Sedangkan, di sisi lain, ternyata pengembangan benih lobster sendiri belum dimaksimalkan sampai saat ini. Sehingga, banyak yang lebih memilih menjual sejak masih benih. Persis seperti yang ditemui Kompasianer Cocon.
Selain maraknya wacana ekspor benih lobster, pada pekan ini Kompasiana masih diisi dengan artikel menarik lainnya seperti mencoba jalan tol Japek II hingga isu ASN yang tidak boleh menjemput anaknya sekolah.
Berikut 5 artikel menarik dan terpopuler lainnya di Kompasiana dalam sepekan:
1. Jalan Tengah Gonjang-ganjing Urusan Lobster
Atas ramainya wacana ekspor benih lobster, Kompasianer Cocon mencoba untuk mengurai permasalahan apa saja yang terjadi hingga penambak menjual sejak dalam kondisi benih.
Apalagi harga jual lobster padahal lebih tinggi ketika sudah layak untuk dikonsumsi, misalnya.
Pertimbangan sosial ekonomi, tulis Kompasianer Cocon, tidak boleh mengorbankan aspek kelestarian SDA dan lingkungan, pun begitu sebaliknya.
"Prinsip-prinsip sustainable development seperti kehati-hatian, kepentingan intra dan antargenerasi, serta kelestarian biodiversity tidak boleh dikesampingkan," lanjutnya. (Baca selengkapnya)
2. Ini yang Saya Rasakan Ketika Melintasi Tol Japek II
Ada yang membuat sedikit khawatir Kompasianer Aji Najiullah Thaib ketika baru pulang dari Bandung untuk hendak mencoba ruas tol baru: Jipek II.
Tol yang panjangnya sekitar 38 KM itu, tulisnya, tidak menyediakan rest area, juga hanya bisa dilintasi dua jalur mobil. Memang sangat riskan kalau terjadi mogok di jalan.
Apalagi lebih-kurang butuh 48 menit dengan kecepatan rerata 80 KM/jam melintasi tol, ia keluar di ruas tol arah cawang.
Atas percobaan itu, Kompasianer Aji Najiullah Thaib memberi beberapa catatan, seperti jalan yang dilalui belumlah terasa smooth seperti jalan tol pada umumnya. Kasarnya lapisan aspal masih sangat terasa, sehingga sangat mengganggu kenyamanan. (Baca selengkapnya)
3. Harga Demokrasi di Amerika Serikat, Akhirnya Presiden Dimakzulkan
"Siapa bilang bahwa demokrasi itu murah?" tulis Kompasianer Yupiter Gulo dalam membuka opininya mengenai rencana DPR Amerika Serikat untuk memakdzulkan Presiden Donald Trump.
Ini pula, lanjut Kompasianer Yupiter Gulo mencontohkan, prinsip demokrasi berada dalam sebuah dinamika keseimbangan yang memiliki gelombang yang sama.
"Pentingnya demokrasi dijunjung tinggi itu menjadi jauh lebih penting bagi sebuah negara yang memiliki peran besar dan penting," lanjutnya.
Namun, terlepas dari pertimbangan politik, sejarah tetap akan mencatat tentang alasan utama mengapa seseorang presiden dimakzulkan. (Baca selengkapnya)
4. Gurumu Garang? Selamat, Sekolahmu Sudah Beruntung
Akan selalu ada guru yang tampak garang dalam kegiatan-mengajar di kelas. Dan biasanya, peserta didik akan takut terhadap guru yang seperti itu.
Namun, berbeda dengan pandangan Kompasianer Ozy Alandika, guru yang garang tersebut, baginya, semakin banyak guru melarang maka semakin sayang guru itu.
"Walau kadang kesannya terlalu garang bahkan bengis, tetap saja dibalik semua itu ada ketakutan dan kekhawatiran yang besar di hati guru," lanjutnya.
Tetapi, bagaimana jika sampai ada luka secara fisik? (Baca selengkapnya)
5. ASN Tidak Boleh Jemput Anak di Jam Kerja, Serius?
Meski tidak berprofesi sebagai ASN, tetapi ketika mencuatnya isu dilarangnya ASN untuk menjemput anaknya pulang sekolah.
Menurut Kompasianer Tommy TRD, profesi apapun seharusnya tidak memiliki hak untuk mencampuri sebuah hubungan orang tua dan anak.
"Jika menjemput anak akan menghadapi pemotongan tunjangan, berapa orang yang akan lebih memilih rupiah dibandingkan waktu bersama anaknya?" tulisnya.
Bahkan Kompasianer Tommy TRD lebih memilih kehilangan pekerjaan semacam itu jika dibandingkan harus kehilangan anak saya. (Baca selengkapnya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H