Alih-alih memuat tulisan yang mengencam pada poster-poster yang digunakan, beberapa mahasiswa terlihat memegang spanduk dan poster-poster dengan tulisan bernada humor untuk menyuarakan aspirasinya.
"Tapi kalau mereka tidak turun ke jalan, berlatih menyuarakan aspirasi masyarakat, dan akhirnya tercebur ke politik, mungkin selamanya tidak akan belajar betapa penting nilai politik dan kebijakan publik dalam kehidupan kita," tulis Kompasianer Hariadhi.
Nah, yang menarik dari seruan lewat poster-poster tersebut membuat pesan protes dikemas dalam bentuk humor supaya viral. (Baca selengkapnya)
3. Walau Berkinerja Buruk, Anggota DPR Menerima Pensiun Seumur Hidup
Kini perhatian publik kepada kinerja DPR-RI dan anggotanya makin meningkat. Apalagi, menurut Kompasianer Leya Cattleya, Â khususnya terkait kinerja dalam menjalankan peran legislasi.
Pada tahun 2016 saja misalnya, dari target program legislasi nasional (prolegnas) jangka menengah periode 2014-2019 sebanyak 183 rancangan RUU, DPR-RI hanya menyelesaikan 14 RUU (di luar RUU kumulatif terbuka).
"Secara rata-rata, pencapaian tertinggi DPR hanya 10 RUU dalam setahun. Kinerja legislasi DPR juga diperburuk dengan tradisi DPR memperpanjang proses pembahasan RUU," tulis Kompasianer Leya Cattleya.
Namun, ada yang mengejutkan ketika melihat itu semua adalah menerima uang pensiun walau hanya pernah satu kali menjabat. (Baca selengkapnya)
4. Ingatlah Hal Ini Saat Mulai Tak Semangat Kerja
Mungkin bagi sebagian orang berpendapat bahwa naik jabatan bukanlah hal yang utama, melainkan justru imbalan yang diterima (gaji, tunjangan, cuti dan lainnya) diharapkan terus meningkat.
Namun, menurut Kompasianer Irmina Gultom, ketika tuntutan dan tekanan pekerjaan terus meningkat maka pada suatu titik semangat kita untuk bekerja akan menurun atau bahkan hilang.
"Saat kita mengalami atau menjalani sesuatu yang tidak menyenangkan, saya akui kita cenderung sulit untuk berpikir positif. Dan salah satu sikap positif itu misalnya bersyukur dalam setiap kondisi yang sedang dialami," tulis Kompasianer Irmina Gultom.
Lantas, bagaimana mesti menyikapinya? (Baca selengkapnya)