Yang terpenting, tulisnya, bukan mempunyai buku dari karya sendiri tetapi yang jauh lebih berharga yakni setiap penulis punya niat dan semangat untuk berlitarasi.
Bersama para penulis lain di Kompasiana, Thamrin Sonata mengajak untuk membuahkan bahan bacaan yang dibutuhkan untuk lingkungannya.
Memberikan warna pemikiran yang lebih humanis. Sebab, akan selalu ada yang bisa ditawarkan itu tak sekadar ilmu dan hapal-hapalan semata.
***
Buku itu, menurut Thamrin Sonata, selazimnya sebuah kata benda dan kata kerja.
"Ia digali dengan kita membacanya secara saksama," lanjutnya.
Hal itu kemudian mengingatkannya manakala buku pertama Thamrin Sonata diterbitkan tahun 1982.
Yang tidak ia diduga, 17 tahun setelah itu, barulah bertemu dengan objek yang dituliskan ketika itu, Emil Salim.
Pada sebuah pertemuan diskusi perihal ekonomi dan politik di Menteng, Pak Emil Salim menenteng buku Thamrin Sonata sambil meminta tanda tangannya.
"Tidak sah kalau buku ini tidak ditanda tangani penulisnya," ujarnya, ketika itu.
Namun, bagaimana dengan nasib buku yang serba digital ini? Masihkah romansa seperti itu bisa dialami oleh penulis-penulis sekarang?