Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melihat Kerajinan Tas Khas Papua dalam Filantropi Festival 2018

27 November 2018   20:21 Diperbarui: 27 November 2018   20:31 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filantropi Festival 2018/Joshua Christian Hutajulu

Berbicara soal Papua memang tak pernah ada habisnya. Tetapi juga tidak melulu mengenai emas. Masih ada banyak potensi alam di sana yang bisa dibicarakan lebih jauh. Aneka kerajinan adalah contohnya.

Salah satu yang paling menarik dan khas adalah Noken: Kerajinan asli Papua berbentuk tas, yang memang menjadi tas khas orang-orang di sana.

Membawa tas ini berbeda dengan tas pada umumnya. Orang Papua menggunakan noken dengan menggantungkannya di kepala.

Karena keunikannya itu pula yang membuat UNESCO menetapkan noken sebagai salah satu hasil karya tradisional dan warisan kebudayaan tak benda dunia.

Penetapan UNESCO untuk noken tidak semata ciri khas yang digantungkan di kepala. Tetapi ada yang lebih bernilai dari itu.

Pada Kamis (15/11/2018) lalu kami berkesempatan melihat proses pembuatan noken ini secara langsung dalam Filantropi Festival 2018 yang digelar PT Freeport Indonesia melalui mitranya, LPMAK (Lembaga Pengembangan Mayarakat Amungme Kamoro) di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta. Di sana PT Freeport Indonesia dan LPMAK memaparkan berbagai program-program untuk pengembangan masyarakat yang telah dilakukan. Termasuk produk Noken ini.

Dari penghilatan kami, yang menarik dari Noken adalah pembuatannya. Semua dilakukan secara manual. Tanpa alat.

Untuk mengerjakan satu tas noken kecil saja diperlukan waktu yang tidak sebentar, berminggu-minggu lamanya.

"Tergantung, kalau tidak ada kegiatan lain di luar rumah kami bisa kerjakan tiga minggu. Kalau ada (kegiatan) bisa satu bulan atau lebih," kata salah satu pembuat Noken di acara itu. Kami memanggilnya mama.

Rumitnya pembuatan Noken selain karena digunakan secara manual, pengrajin juga harus mencari serat-serat kayu terbaik--biasanya serat kayu pohon nawa atau anggrek hutan--sebelum diolah, dikeringkan, dipilah-pilah serat-seratnya dan kemudian dipintal menjadi semacam tali benang.

Noken Papua/Joshua Christian Hutajulu
Noken Papua/Joshua Christian Hutajulu
Lain lagi soal ketetapan adat di sana dan membuat Noken ini semakin bernilai tinggi: Noken hanya boleh dibuat oleh kaum hawa di sana. Sejak kecil, mama-mama sudah diajarkan bagaimana merajut serat-serat kayu ini untuk dijadikan Noken.

Kebiasaan itu sudah turun-menurun sekaligus melambangkan kedewasaan. Sebab, syarat untuk menikah, adalah memiliki kemampuan menghasilkan Noken.

"Sudah menjadi adat leluhur kami," ujarnya.

Melihat proses pembuatannya yang jauh dari kata mudah ditambah keaslian Papua yang masih sangat terasa, Noken-noken ini dipamerkan dan dijual di sini dengan varian bentuk dan harga.

Untuk satu tas Noken kecil, dijual dengan harga Rp 150 Ribu, ukuran menengah dijual seharga Rp 200 Ribu, dan untuk ukuran besar dihargai sebesar Rp 1 Juta.

patung Mbitoro/Joshua Christian Hutajulu
patung Mbitoro/Joshua Christian Hutajulu
Selain Noken, masih dalam kesempatan yang sama, patung Mbitoro juga banyak dilirik oleh pengunjung. Patung berukuran sekitar 30 centimeter dan memiliki berat setengah kilogram ini turut dipamerkan.

Exhibitor Filantropi Festival 2018, Billy, mengatakan patung ini dijual dengan harga yang lumayan mahal, dikarenakan pengerjaannya yang kompleks juga rumit dan memakan waktu cukup lama.

"Waktu pengerjaannya tiga bulan, ya. Dan dari jangka waktunya sudah bisa menggambarkan bahwa itu rumit. Kecil tapi kok lama sekali, karena ini kayu utuh, juga ada kemungkinan patah dan pecah," ujarnya.

Bahan baku untuk membuat patung Mbitoro berasal dari kayu meranti asli yang didapat dari hutan Papua dan memiliki bentuk wajah manusia, biasanya menggambarkan sosok pimpinan dalam adat mereka. Patung itu dijual dengan harga Rp 500 Ribu.

(JOS/ibs)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun