Seperti yang telah kamu ketahui, kita masyarakat Indonesia merayakan Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia di bulan Oktober.
Landasan penatapan tersebut merujuk pada pertemuan para pemuda di rumah Sie Kong Liong di Jalan Kramat nomor 106 pada tanggal 28 Oktober 1928. Pertemuan inilah yang kelak kita kenal dengan kongres Sumpah Pemuda. Salah satu dari 3 butir deklarasi yang dihasilkan pada peristiwa itu berbunyi "Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia.."
Namun, yang perlu diingat, sumpah itu diucapkan oleh ara pemuda dan pemudi yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Masing-masing dari mereka bersepakat menggunakan dan menghormati Bahasa Indonesia tanpa melupakan bahasa daerahnya.
Setelah 90 tahun berhasil menyatukan keragaman melalui bahasa Indonesia, bagaimana nasib bahasa daerahnya? Berikut kami himpun beberapa pandangan Kompasianer mengenai posisi bahasa daerah, saat ini:
1. Kala Arek Malang Harus Bisa Berbahasa Jawa Standar
Ikrom Zain sedikit merasa gagal ketika mengajar bahasa Jawa di kelasnya. Bagaimana tidak, hasil Ulangan harian, Ulangan Tengah Semester, dan Ulangan Akhir Semester bahasa Jawa dipenuhi nilai 3, 4, dan 5.
Menurutnya, alasan yang logis mengingat di dalam kehidupan mereka sehari-hari hampir tak satu pun kata di dalam bacaan tersebut ia gunakan.
"Kurikulum muatan lokal yang digunakan adalah kurikulum bahasa Jawa standar. Sementara itu, mereka tinggal di Kota Malang yang masih satu rangkaian dengan Kota Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan dan sekitarnya dengan bahasa Jawa Dialek Jawa Timur yang kental," lanjut Ikrom Zain (selengkapnya).
2. Pahit dan Manisnya Bahasa Jawa
Bahasa juga memiliki kasta. Setidaknya inilah yang dimiliki oleh bahasa Jawa. Kondisi ini terkadang membuat penuturnya berada pada dilema mengenai bagaimana sebaiknya ia menempatkan diri dalam masyarakat. Liliek Pur membahas dilema ini ke dalam satu artikel pembahasan.
Bahasa Jawa pada umumnya memiliki 3 tingkatan, yaitu basangoko, basa madya dan basa krama. Setiap tingkatan memiliki aturan sendiri. Biasanya basa krama digunakan pada peristiwa agung dan sakral, madya digunakan kepada orang yang lebih tua, sedangkan ngoko dipakai saat berinteraksi dengan teman sebaya.