Komisi Disiplin PSSI baru saja mengeluarkan putusan pada Selasa (02/10) terkait kisruh pada pertandingan Persib Bandung kontra Persija Jakarta (23/09/2018). Satu di antaranya adalah pengeroyokan kepada Haringga Sirla yang berakibat meninggal dunia.
Setelah melalui hasil investigasi, pihak Komisi Disiplin mengeluarkan 13 sanksi, baik kepada Persib Bandung, Suporter, Panitia Pelaksana pertandingan tersebut, hingga pemain-pemain yang berlaga antara Persib Bandung dan Persija.
Bersamaan dengan keluarnya 13 putusan tersebut, Komisi Disiplin PSSI juga menetapkan untuk mencabut status penghentian sementara Liga 1 dan akan kembali memulainya pada 5 Oktober 2018.
Namun, sudah tepatkah 13 putusan tersebut dan apakah sungguh berdampak jera terhadap klub dan suporter?
Handoko Arif berpandangan, selama ini PSSI, melalui Komisi Disiplin, belum pernah melakukan pengurangan poin akibat ulah suporter. Hanya, seingat Handoko Arif, hal tersebut pernah dialami oleh PSIM Yogakarta pada 2018.
"Sebenarnya hukuman pengurangan poin di tahun 2018 pernah terjadi, yaitu PSIM. Namun, yang memberi instruksi pengurangan dari FIFA, bukan PSSI," tulisnya dalam artikel Melihat Beberapa Sanksi PSSI Era Edy Rahmayadi dan Luar Negeri.
Sebab, bagi Handoko Arif, pengurangan poin terhadap klub merupakan satu di antara banyaknya hukuman yang membuat klub dan suporter jera untuk membuat kerusahan atau pengerusakan di kemudian hari.
Handoko Arif percaya, orang-orang yang menjadi suporter pasti mereka memiliki komitmen untuk mencintai idolanya.
Baca:Â PSSI Cabut Penghentian Liga 1, 5 Oktober Kembali Berjalan
Dari tulisan lain, Zulfadli Tahir juga mengemukakan kalau suporter dan sepak bola adalah sesuatu yang tak bisa dipisahkan.
"Di mana kecintaan suporter terhadap klub sepak bola yang dibelanya telah mengubah pikiran normal manusia," tulisnya dalam Menjadi Suporter Bola di Indonesia.
Akan tetapi Zulfadli Tahir sama sekali tidak mengelak bila kebanyakan fanatisme yang selama ini dibangun antara klub dan suporter bisa berujung pada tindakan agresif, meski itu bisa saja cenderung positif.
"Semakin fanatik suporter, maka semakin tinggi tingkat agresivitasnya. Jika tak diredam, bisa sampai perilaku ekstrem," lanjutnya.
Menurutnya, bila melihat dari hipotesis demikian, idiologi rivalitas antar suporter kadang tidak bisa dijelaskan dengan nalar yang sehat. Semacam ada gengsi dan harga diri yang dijaga --bahkan bisa sampai dipertaruhkan.
Rasa-rasanya menjadi tidak adil bila melulu suporter yang disudutkan. Apalagi di tengah berkabungnya sepak bola nasional, ujar Ibra.
"Saya tak sependapat jika kemudian masalah suporter ini kemudian ditanggung sendiri oleh insan sepak bola. Seolah-olah menempatksn mereka yang suka (sepak)bola memiliki dunia berbeda dengan masyarakat pada umumnya," lanjutnya.
Ibra sendiri meyakini, energi "berlebih" suporter ini tidak dikelola dengan baik. Mau itu oleh klub atau PSSI secara keseluruhan. Sebab, kerja-kerja positif para suporter sepak bola jarang diketahui oleh masyarakat awam. Kemudian Ibra mencontohkan bagaimana kelompok suporter Semen Padang memiliki kerja kreatif membuat animasi yang kualitasnya setara dengan animator kenamaan.
"Jika tidak percaya silakan tengok akun media sosial mereka: Cerita Kerbau Sirah," ujarnya dalam catatan Terus Menyudutkan Suporter Tak akan Jadi Solusi Hentikan Kekerasan.
Sejatinya, dari kejadian ini kita menjadi tahu: sepak bola bukanlah sekadar permainan olahraga antara 11 orang melawan 11 orang di lapangan selama 90 menit, selepas itu masih ada permasalahan sosial, ekonomi --bahkan politik-- yang belum tersentuh dan (pantas) diperhatikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H