Taufan membuat kisah pembunuhan di sebuah rumah tanpa pernah terselesaikan akar permasalahannya. Ketika orang-orang sibuk mencari kebenaran dari pembunuhan itu, mencari lebih dalam, semakin tidak terlihat jalan terangnya.
Taufan menggunakan persepsi antara orang yang hadir dalam cerita itu. Dan, setiap persepsi lahir, hadir motif baru. Kisah semacam itu suka atau tidak, membangkitkan imajinasi pembacanya. Menebak dan menerka akhir ceritanya masing-masing. Taufan menggantungkan cerita itu:
"Sayangnya pihak pemangku, tim ahli, hingga tulisan ini dirilis. Rumah bernyanyi, julukan rumah itu, tak pernah diungkapkan pada publik. Entah mengapa."
Tapi, di situlah kenikmatan membaca cerpennya yang berjudul "Rumah Bernyanyi". Kita tidak akan pernah selesai akan satu kisah, karena kisah baru yang --bisa jadi serupa-- akan lahir. Dan terus seperti itu sampai kita lupa saking banyak dan sama.
Atau, sebagai contoh yang lain, bisa juga kita membaca cerita "Dulu Aku Menyusu di Payudara Ibumu'" yang ditulis Amel Widya. Sedikit konyol, memang, tapi cinta menurut Amel Widya, tidak mengenal takdir.
Cinta yang tumbuh sejak remaja, dirawat sampai usia yang matang, tumbuh begitu saja. Mungkin secara logis kita bisa mengelak, namun suka atau tidak, cinta menakdirkan semua kejadian itu.
Kamu mulai berani mengecup keningku setiap aku pamit untuk pulang ke rumahku, aku mulai berani menumbuhkan harapan di dadaku bahwa kamu juga menyukaiku.
Bukan suka, tegas Amel Widya, melainkan cinta.
Bagi siapapun yang percaya, cinta merupakan dongeng abadi yang kita tidak tahu asal-usulnya. Kita bisa menceritakannya tanpa pernah merasakannya. Atau sebaliknya, kita bisa merasakan tanpa bisa menceritakannya.
Dan dari cerpen itu, pada akhirnya cinta disadarkan oleh kenyataan:
Kamu menghela napas. "Karena dalam darah kita mengalir susu yang sama maka haram bagi kita hidup bersama dalam satu rasa. Kita cuma titik embun di daun yang bergulir jatuh ke tanah tanpa jejak basah."