Jika satu anak terkena virus Measles Rubella (MR), ia bisa menularkan virus tersebut kepada 12-18 anak lainnya. Yang lebih berbahaya lagi, jika seorang anak sudah tertular, maka ia bisa cacat seumur hidup. Dan sayangnya, sampai saat ini, belum ada vaksin atau obat yang mampu mencegahnya, selain Vaksin MR.
Sepanjang semester pertama tahun 2017, Kementerian Kesehatan mencatat 8.099 orang suspek campak rubella dan 1.549 di antaranya terindikasi positif menderita penyakit tersebut. Angka ini dicapai hanya dalam kurung waktu Januari hingga Juli 2017. Setelah dilakukan kampanye imunisasi, angka suspek pun turun menjadi 1.045 dan yang terindikasi positif menjadi 176 kasus.
Meski berkontribusi pada kesehatan anak, banyak orang tua yang memilih untuk tidak memvaksin anaknya dengan Vaksin MR. Penyebabnya beragam, tetapi alasan yang kerap muncul ialah karena Vaksin MR terbukti mengandung enzim babi.
Menanggapi isu tersebut, pada tanggal 21 Agustus 2018 lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa sementara yang membolehkan penggunaan vaksin MR lantaran kondisi yang mendesak. Penerbitan fatwa ini sontak menimbulkan pro dan kontra yang kian ramai di kalangan publik.
Mengenai polemik ini, Uli Hartati menceritakan bahwa ia senang karena anak pertamanya diberi Vaksin MR. "Anak pertamaku mendapat vaksin MMR di usia 15 bulan, ... namun untuk anak kedua jadwal Vaksin MMR anak keduaku, sampai akhir tahun lalu (2016) vaksin MMR ini tidak tersedia lagi di rumah sakit, kabarnya karena mahal," tulisnya dalam artikel Setelah Divaksin MR, Anakku Bahagia!
Tak cukup pro kontra pasca-fatwa MUI, belakangan ini ramai beredar kabar Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah menyatakan penundaan penggunaan vaksin MR untuk provinsi Daerah Istimewa Aceh. Imbauan ini dikeluarkan lantaran Aceh masih menunggu sertifikasi halal MUI untuk Vaksin MR. Menggapi hal tersebut, perwakilan PBB Dita Ramadonna untuk Unicef indonesia mengatakan penundaan penyuntikan vaksin MR dapat mengakibatkan 84% populasi anak di Aceh berisiko terkena campak rubella.
Kompasianer Wais Al Qorony berpendapat, sebelum ditemukan obat lain, sungguh wajar bila MUI menyatakan Vaksin MRI haram tetapi boleh digunakan dalam kondisi darurat.
"Beda hal lain jika sudah ada yang baik tapi masih memakai vaksin MR itu baru haram dan tidak diperbolehkan. Dibuat simple aja nggak pakek ribet. Pilih selamat atau terkena dampak. Life is simple," ujarnya di laman Pro-Kontra penggunaan Vaksin MR.
Meski vaksin tersebut berasal dari derivat atau bahan turunan yang haram tetapi fatwa MUI bisa dijadikan pijakan untuk memperbolehkan dengan pengecualian. Penyebaran virus MR dapat terjadi dengan cepat jika tidak dilakukan penanganan khusus, akibatnya bisa fatal bagi anak-anak.
"Kesehatan itu mahal! Lebih baik mencegah daripada mengobati. Pentingnya untuk memberikan imunisasi MR sejak dini agar bahaya penyakit Rubella dapat dihindari bahkan cepat ditangani," tulis Nugroho N. Azhar.
Melalui tulisanya, Listhia HR mengingatkan imunisasi ini diperkirakan dapat mencegah 2-3 juta kematian setiap tahun.
"Imunisasi tidak sekadar melindungi anak-anak dari penyakit seperti difteri, tetanus, polio dan campak tetapi juga penyakit seperti pneumonia dan diare rotavirus --dua pembunuh terbesar anak di bawah 5 tahun," lanjutnya.
Lantas, bagaimana kita mesti menyikapi polemik ini? Silakan kompasianer tuliskan opini/reportase terkait hal tersebut di Pro-Kontra: MUI memperbolehkan Vaksin MR meski itu haram! (HAY/wid)
#ProKon: Untuk alasan darurat, MUI perbolehkan penggunaan vaksin MR meski haram. Mana sikap yang kamu pilih demi kesehatan keluarga? #VaksinMR
Vote di sini: https://t.co/A17Ox1lVBPpic.twitter.com/kjgYVuNkRo— Kompasiana (@kompasiana) August 23, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H