Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Menjadi Kiri Itu Tidak Mudah!

8 Agustus 2018   20:45 Diperbarui: 19 Februari 2019   12:11 2198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Diarmid Courreges -kompas.com

Dr. Silvia Paracchini dari Universitas St Andrews di Skotlandia menguji hal tersebut dengan tes pegboard sederhana (jenis tes yang biasa digunakan untuk menguji ketangkasan manual) untuk mengukur berapa waktu yang dibutuhkan seseorang untuk memindahkan 10 pasak di papan.

Hasilnya, semakin tinggi nilai PegQ, semakin cenderung orang tersebut bertangan kanan. Sementara itu, PegQ negatif membuat seseorang lebih kidal.

Dalam hal ini, orang tua dapat membantu anak kidal lebih merasa diterima di lingkungannya. Salah satu caranya adalah dengan lebih peka melihat reaksi anak ketika orang tua meminta mereka menggunakan bagian tubuh sebelah kanan.

"Kalau si anak melakukan protes menolak petunjuk-petunjuk orang tua dan menjadi terganggu secara emosional berarti kekidalannya sangat kuat," tulis Nissaull Khusna, dalam "Apa yang Harus Dilakukan Orang Tua Jika Anak Cenderung Kidal?"

Dalam tulisan tersebut Nissaull Khusna menganjurkan, jika orang tua berminat untuk mencoba mengubah kecenderungan anaknya untuk menggunakan tangan kiri ini, sebaiknya lakukan ketika anak masih berusia di bawah 6 tahun.

Itupun dengan syarat, yaitu perubahan dilakukan bertahap. Orang tua bisa mengajak atau melatihnya untuk menggunakan tangan/bagian tubuh kanan, tetapi tak boleh memaksanya. Pemaksaan terhadap anak bisa berdampak lebih buruk dan menimbulkan masalah-masalah psikologis.

"Misalnya rasa takut gagal, cemas, karena stres yang berkepanjangan yang akhirnya membentuk konsep diri yang negatif pada anak," tulis Nissaull Khusna kemudian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun