Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Anak-anak adalah Korban Mangkraknya Ketidakwaspadaan Kita

24 Juli 2018   06:22 Diperbarui: 24 Juli 2018   14:07 1316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan Surat Edaran Pelarangan terkait iklan produk Susu Kental Manis (SKM). Tetapi khalayak memaknai larangan itu sebagai larangan untuk tidak mengonsumsi produk SKM. Padahal, yang dilarang BPOM, salah satunya, adalah menampilkan anak-anak sebagai "bintang iklannya".

Berangkat dari contoh kasus BPOM tadi, sepatutnya kita lebih mawas diri, terutama sebagai orang tua, untuk menjaga anak-anak dari terpaan iklan dan produknya, terutama melalui medium televisi.

Memang, televisi begitu powerfull dalam menyampaikan pesan. Dan anak-anak, sayangnya, terlalu 'akrab' dengan benda itu.

Anak-anak sebenarnya telalu rentan untuk mencerna segala macam bahasa atau pesan yang disampaikan televisi berupa gambar.

Neil Portman, dalam bukunya berjudul Selamatkan Anak-anak, mengatakan, "Sebuah gambar mungkin ada benarnya: mewakili seratus atau seribu kata. Tetapi bukan berarti gambar itu sama dengan ribuan, ratusan, atau bahkan sepatah dua patah kata. Gambar dan kata adalah dua hal berbeda," katanya. Hal itu yang belum bisa dipahami anak-anak.

Selain televisi yang begitu digdaya dalam menyampaikan pesan, gambar-gambar sebenarnya tidak bisa menunjukkan konsep-konsep; menunjukkan hal-hal. Tidak seperti gambar: Tak bisa ditentang. Tidak ada pula bukti atau logika yang harus dipatuhinya.

"Tetapi gambar-gambar memerlukan suatu respons estetis dari pengamat. Gambar-gambar ini menarik kita, bukan rasio kita. Gambar-gambar ini meminta kita untuk merasakan, bukan untuk berpikir," ungkap Portman.

Inilah mengapa psikolog asal Jerman, Rudolf Arnheim, menjelaskan revolusi grafik dan mengantisipasi manifestasi yang menggejala dari televisi sudah diperkirakan sekaligus berpotensi mematikan kesadaran kita. Terlebih anak-anak.

"Kita harus ingat, bahwa di masa lalu ketidakmampuan untuk memindahkan pengalaman langsung dan mengungkapkannya pada orang lain membuat pemakaian bahasa itu penting, dan karenanya menarik kesadaran manusia untuk membangun konsep-konsep. Karena untuk menggambarkan sesuatu seseorang menggambar bentuk umum dari yang spesifik; yang bersangkutan harus memilih, membandingkan, dan berpikir," begitu kata Arnheim. Tetapi lagi-lagi, anak-anak belum mampu untuk berbuat demikian.

Lebih dari 80 tahun lalu, menurut Portman, ramalan Arnheim ini--sayangnya diakui sebagai fakta oleh Robeet Heilbroner--mulai menunjukkan kebenaran di mana periklanan berbentuk gambar telah menjadi kekuatan penghancur utama dalam memperlemah asumsi-asumsi dunia melek huruf.

Dalam konteks iklan produk SKM--hingga munculnya larangan BPOM--adalah bukti sahih bahwasanya kita jauh dari mawas diri. Produsen yang mengiklankan dengan menampilkan anak sebagai pemerannya kita telan begitu saja, tanpa ada secuil kritik pun. Pada akhirnya, kita justru berbondong-bondong menyalahkan si produsen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun