Kabar duka itu datang pada selasa (10/7) pagi. Tubagus Encep meninggal dunia karena sakit yang diderita (...). Ia adalah sosok yang humanis, tipikal guru yang sederhana dan apa adanya.
"Jauh sebelum mengenal kompasiana saya hanyalah seorang guru kampung yang berputar-putar pada satu tempat saja," tulisnya dalam artikel Tersesat ke Kompasiana, Saya Bukan Lagi Guru dalam Tempurung.
Dan kompasiana, tentu saja, dijadikannya sebagai tempatnya berbagi kisah dan gagasannya seputar dunia pendidikan. Adapun kritiknya tentang sertifikasi guru yang dulu sempat santer diperbincangkan.
Dalam upaya peningkatan kesejahteraan guru, tulis (alm) Tubagus Encep, sertifikasi tentulah merupakan sebuah kesyukuran yang mendalam walaupun itu bukan tujuan utama dan jangan dianggap menjadi tujuan utama mengikuti sertifikasi guru.
Namun, dalam pandangannya terhadap sertifikasi guru tersebut yang diamantkan UU No. 14 tentang Guru dan Dosen, bisa menjadi bumerang bila tidak diantisipasi sedini mungkin dengan terus meningkatkan keprofesionalannya.
"Termasuk dengan mengikuti pendidikan guru profesianal lewat pendidikan sertifikasi guru yang diselenggarakan oleh LPTK," lanjutnya.
Karena sertifikasi guru, sejatinya bagi (alm) Tubagus Encep adalah pengakuan terhadap kemampuan seorang guru untuk layak mendapatkan titel guru profesional yang layak mengajar di sebuah lembaga pendidikan, walaupun ini bukan satu-satunya jalan menuju guru yang profesional.
***
Akan tiba satu masa: suami mencicipi masakan istri karena terpaksa. Dan hal semacam itu juga pada akhirnya dialami oleh (alm) Tubagus Encep.
Dengan penuh keriangan, ia menuliskan pengalaman itu ketika diminta mencicip kue masakan istinya. Membantu membuat kue bukan saja untuk lebih dekat dengan istri, katanya, namun mampu menciptakan kebersamaan yang sering terkikis oleh waktu.
"Namun sungguh, kadang saya suka tersenyum sendiri bila mengingat kebiasaan istri ketika disuruh mencicipi kueh buatannya."
Karena bukan kue buatan yang hasilnya bagus, malahan yang hangus. Yang bagus untuk lebaran, kata isrirnya.
Atau juga jika ingat tulisan (alm) Tubagus Encep yang sempat viral: Jangan (Biasakan) Minta Oleh-oleh pada Teman yang Bepergian.
Padahal dalam tulisannya itu (alm) Tubagus Encep menawarkan sebuah gagasan baru tentang cara kita yang suka meminta oleh-oleh itu. Ada lima poinnya, seperti berikut:
*) Apakah kita sudah berpikir bahwa teman yang kita minta oleh-oleh belum tentu sedang dalam kondisi memiliki uang yang cukup.
*) Teman memiliki waktu yang terbatas untuk mencari oleh-oleh yang kita minta.
*) Teman kita juga sudah direpotkan membawa oleh-oleh yang mungkin disiapkan untuk keluarganya.
*) Pada kasus bepergian dengan pesawat terbang di mana setiap penumpang hanya mendapatkan free bagasi antara 20-30 kg (tergantung maskapai/kelas penumpang) tentu saja akan merepotkan ketika gara-gara oleh-oleh yang kita pinta menambah beban biaya tambahan yang harus dibayar teman kita.
*) Dan banyak hal kesulitan yang akan teman kita dapatkan akibat pesanan oleh-oleh yang kita minta pada teman.
Bagiamana, sepakat?
Yang juga kini kita sepakati, tentu saja, dalam perjalanan (alm) Tubagus Encep kini, kita tak akan minta oleh-oleh darinya. Yang kini bisa kita lakukan, barangkali, sekadar membekalinya dengan doa, semoga perjalanannya kini diberi kemudahan. Amin.
Selamat Jalan Tubagus Encep, Karyamu Terus Menginspirasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H