Kapuas ialah nadiÂ
Ia meliuk-liuk seperti cacing besar kepanasan disulut matahariÂ
Cacing coklat, tempat Bapak dan ikan-ikan bertemu di sebuah kail
Aku sering membuntuti, Â
membantunya menjinjing ember tempat ikan-ikan akan dihadiahkan ke dapur kamiÂ
Kadang aku bosan karena Bapak hanya diam....
Seperti itulah bait pertama puisi yang berjudul Sore Bersama Bapak, puisi persembahan dari Kompasianer Gi Jenal. Bila kita mendalami lebih jauh, puisi ini tidak hanya mengisahkan tentang dirinya dengan sang ayah, namun bagaimana sebuah sungai menjadi saksi atas dinamika kehidupan manusia.
Di beberapa daerah Indonesia, pulau Kalimantan contohnya, sungai adalah simbol peradaban dan kehidupan. Masyarakat sudah menyatu bersama sungai dengan aktivitas sehari-hari maupun kegiatan adat.
Festival-festival, pasar apung, kegiatan penambangan, ataupun sekadar memancing ikan untuk makan nanti siang. Sungai di Kalimantan berperan sebagai mata pencaharian sebagaimana pada awal kalimat puisi tersebut, ialah sebagai nadi. Maka tidak heran bahwa pulau ini dijuluki dengan Pulau 1000 Sungai.
Berbeda dengan Gi Jenal yang berkisah bersama Kapuas dalam bentuk puisi, Kompasianer lain, Edy Supriana Sjafei bercerita tentang pengalamannya mengikuti Festival Ritual Robo-robo.
Festival ini diadakan di muara Sungai Kapuas daerah Sungai Kakap, Mempawah, Kalimantan Barat. Dalam artikelnya yang berjudul Robo-robo, Ritual Silaturahim Etnis Melayu di Kalimantan Barat, ia menggambarkan betapa meriahnya festival Robo-robo yang berlangsung selama satu hari penuh, warga tumpah ruah di tepi sungai.
Festival dimaknai juga sebagai upacara tolak bala dan peringatan berdirinya Kerajaan Amantubillah, di kota Mempawah.
Jika Gi Jenal dan Edy Supriatna Sjafei  bercerita tentang sungai Kapuas dalam artikelnya, maka Kompasianer Aal Arby Soekiman bercerita tentang sungai Mahakam di Kalimantan Timur.
Siapa yang menyangka bahwa sungai sepanjang 920 km dan melewati daerah hulunya mulai dari Kabupaten Kutai Barat, Kutai Kartanegara, dan Samarinda menjadi tempat hidup satwa air mamalia.
Adalah si Pesut, satwa penghuni tertua di sungai Mahakam. Ikan ini sering juga disebut sebagai lumba-lumba air tawar. Pada tahun 2007 Pesut Mahakam diperkirakan hanya berjumlah 50 ekor saja.
Spesies ini urutan tertinggi satwa Indonesia yang terancam punah. Mereka bahkan hanya dapat ditemukan pada tiga lokasi di dunia yakni Sungai Mahakam, Sungai Mekong dan Sungai Irawady.
Mengingat kehidupannya yang semakin terancam dan populasi mereka yang semakin sedikit, kita tidak tahu sampai kapan satwa unik ini akan bertahan. Untuk itu ketika mengunjungi Kalimantan Timur, jangan lewatkan kesempatan menyaksikan kawanan Pesut berenang dan melompat di sungai!
Ada tips dari penulis, untuk menyaksikan kawanan pesut ini, kita bisa menggunakan jasa sewa kapal dari Samarinda menuju ke arah hulu sungai Mahakam. Lama perjalanan dari samarinda ke titik di mana kawanan ini sering muncul berkisar 5-6 jam.
Simak penjelasan lengkap di artikel ini: Menyaksikan Atraksi Pesut Mahakam Hanya di Kaltim!
Dari cerita sungai, mari kita beralih kepada cerita tentang hutan Kalimantan. Seperti yang dikabarkan kompasianer Suprihati, Kalimantan punya gunung batu (monolit) yang bentuknya unik bagaikan segumpal batu raksasa. Tinggi gunung batu ini mencapai  1 Km, merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.
Gunung ini berada dalam Kawasan Hutan Wisata dan memiliki panorama alam yang memesona, berupa pemandangan air terjun, gua alam yang dihuni oleh ribuan kelelawar, dan sebuah tebing terjal setinggi kurang lebih 600 meter.
Bukit Kelam juga menjadi habitat bagi tanaman kantong semar. Kantong semar jenis Nepenthes clipeata adalah tanaman endemik Bukit Kelam. Jenis ini termasuk IUCN red list, jenis yang paling terancam punah sehingga sangat dilindungi.
Karena bentuk uniknya Bukit Kelam, gunung ini menyimpan legenda dan fenomena alam semesta. Untuk penjelasan lebih lengkap, silakan baca artikel Bukit Kelam, Monolit Kaliber Dunia di Sintang, Kalimantan Barat
Di Kalimantan Selatan, kami mendapatkan sosok inspiratif yang melestarikan hutan mangrove. Kabar ini kami dapatkan dari artikel yang ditulis Motulz Anto berjudul Kisah Seorang Ibu yang Mengubah Desanya di Kalimantan Selatan.
 Cerita ini dia dapatkan ketika dia diundang oleh PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (Indocement) bersama beberapa teman blogger lainnya untuk melihat-lihat beberapa aktivitas dan inisiatif dari masyarakat di sana berkolaborasi dengan Indocement di Kotabaru.
Adalah ibu Adawiyah, seorang mantan tenaga kerja Indocement yang sehari-hari membuat makanan ringan sebagai oleh-oleh khas Kotabaru, merupakan salah satu motor penggerak gerakan menanam kembali hutan mangrove yang gundul setelah dibabat masyarakat untuk dijadikan kayu bakar.
Dengan dukungan yang baik, sudah hampir 21 ribu lebih batang pohon yang ditanamkan di kawasan yang luasnya lebih dari 14 hektar. Bahkan, saat ini kawasan hutan mangrove di desa ini menjadi tempat wisata masyarakat di Kotabaru. Inspiratif sekali ya!
Jika kabar dari Kalimantan Selatan kami mendapatkan sosok inspiratif, maka dari Kalimantan Timur kompasianer Aal Arby Soekiman mengabarkan keistimewaan kawasan konservasi yang diapit oleh dua kota besar di provinsi tersebut.
Kawasan ini dinamakan dengan Taman Hutan Raya (Tahura). Ketika Anda melakukan perjalanan darat antara Balikpapan -- Samarinda, hutan ini akan menyapa Anda dari kedua sisi.
Dengan luas 61ribu Ha, kawasan ini menyimpan kekayaan flora dan fauna. Dari pohon meranti, keruing, mahang, mengkungan, hora, medang, kapur, kayu tahan, keranji, dan perupuk. Kawasan ini juga dihuni oleh orangutan, beruang madu, macan dahan landak, dan rusa sambar.
Namun seiring perkembangan waktu, kawasan hutan ini terancam karena pertumbuhan ekonomi. Peraturan pun senantiasa berubah yang mempermudah pertumbuhan ruas jalan baru di beberapa titik kawasan ini.
Hal yang disayangkan penulis, Taman Hutan Raya terancam eksploitasi akibat terbitnya kebijakan-kebijakan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat yang mempermudah aktivitas penambangan di dalam kawasan tersebut.
Simak selengkapnya: Yuk Jajal Taman Hutan Raya (Tahura) Peninggalan Soeharto di Kaltim!
Dari ranah pariwisata, kita tentu tidak asing lagi dengan nama Derawan. Kepulauan menawan yang berada di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur sekarang sudah memiliki akses udara terdekat.
Menurut kompasianer Dewi Puspasari, kehadiran bandara Maratua yang baru dibuka Juni 2017 lalu mempersingkat perjalanan menuju Derawan secara signifikan!
Jika dulu kita bisa menghabiskan 12 jam lamanya untuk ke Derawan dari Jakarta dengan Tarakan sebagai akses udara terdekat. Kini wisatawan hanya menghabiskan waktu 5 jam perjalanan. Dengan asumsi lamanya penerbangan Jakarta -- Tarakan, Tarakan -- Maratua, kemudian disambung dengan speedboat Maratua -- Derawan selama 2 jam.
Saat ini maskapai yang beroperasi menuju bandara ini adalah Garuda Indonesia, Wings Air dan pesawat carteran lainnya jenis ATR 72 dari bandara Balikpapan, Berau, ataupun Tarakan.
Maka dengan kemudahan akses seperti ini, jangan tunda niatmu untuk ke surga yang ada di Kalimantan kompasianer!
Hadirnya Bandara Maratua Bikin Perjalanan Menuju Derawan Makin Singkat
************
Bagaimana dengan kabar lain di daerahmu? Mari berkontribusi dan berbagi kepada seluruh masyarakat Indonesia melalui topik spesial Kabar Dari Seberang
Program yang sedang berlangsung adalah Regio Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara
(AL)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI