Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama FEATURED

Wajah Pariwisata yang Tak Selalu Ceria di Bali dan Nusa Tenggara

21 Juni 2018   15:12 Diperbarui: 9 Agustus 2020   10:30 2842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sunset denga pilar dermaga lama I Dokpri

Pulau Bali dan gugus Kepulauan Nusa Tenggara, baik Nusa Tenggara Barat dan Timur merupakan wilayah Indonesia yang sudah pasti masuk dalam bucket list para traveler dalam negeri maupun mancanegara.

Info pariwisata mengenai Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur pun bertebaran di dunia maya. Semuanya sudah tersaji, begitu lengkap dan terperinci. Namun, dari sedemikian masifnya informasi tentang Bali atau Nusa Tenggara di arus utama informasi, barangkali, ada sepenggal cerita menarik yang luput dari pandangan. 

Cerita tentang hal-hal sederhana yang dapat membuat takjub, bangga, merenung, dan sedih di saat yang bersamaan.

***

Merasakan langsung atau bahkan terlibat dalam sebuah prosesi budaya di belahan pelosok lain merupakan suatu yang istimewa. Seperti halnya yang dirasakan oleh Yasintus Ariman. Ia beruntung dapat merasakan pengalaman menarik saat berkunjung ke kediaman rekannya yang ada di Sumba Timur. Melalui "Mengenal "Pahilir", Tradisi Bertata Krama antara Menantu dan Mertua di Sumba Timur" ia bercerita tentang tradisi yang masih dijaga dengan baik oleh masyarakat setempat.

ilustrasi. (Foto: istimewa --antara news)
ilustrasi. (Foto: istimewa --antara news)
Tradisi Pahilir, dapat diartikan merupakan suatu bentuk tata krama, etika, adat istiadat yang dianggap tabu, terlarang dan menciptakan aib, yang mengatur relasi antara menantu dan mertua.

Jika dilanggar, penduduk setempat percaya akan datang tulah atau semacam penyakit tertentu. Karenanya, bila terjadi pelanggaran, lebih-lebih terjadi perselingkuhan antara menantu dan mertua, denda adat mengharuskan pelaku mempersembahkan babi dan menyerahkan seekor kuda kepada keluarga perempuan.

Ia menambahkan, Budaya pahilir dapat menjadi salah satu penangkal arus budaya modern seperti pelakor (perebut laki orang) atau pun kelkulator (kelakuan laki kotor). Budaya ini berfungsi sebagai kontrol sosial yang membantu mengurangi kasus perselingkuhan di wilayah adat.

Lain di Sumba, lain pula cerita dari Bali. Di tengah hiruk pikuk bisnis pariwisata Bali yang berkembang sangat pesat, di antara hilir mudik para wisatawan yang datang, ada hal yang mungkin saja luput dari penglihatan kita. Antara lain tentang peran penting sosok sederhana penjual perlengkapan ibadah bagi umat Hindu. Profesinya disebut juga sebagai pembuat canang sari.

Margi dan canang sari hasil karyanya yang dijadikan pelengkap sajen.(Dokumen Pribadi)
Margi dan canang sari hasil karyanya yang dijadikan pelengkap sajen.(Dokumen Pribadi)
Budiartha, dalam artikelnya menyajikan cerita sederhana tentang keseharian sosok Margi, Sang pembuat Canang Sari. Canang sari merupakan salah satu kebutuhan paling penting untuk segala macam prosesi keagamaan di Bali. Maka tak heran Canang sari telah menjadi kebutuhan pokok bagi umat Hindu.

Meski mendapat untung yang tak seberapa, Margi bersyukur segala kebutuhan hidup keluarganya dapat terpenuhi, karena yang terpenting baginya, apa yang ia jual itu dapat membantu banyak orang.

Keunikan ragam budaya tidak semata terlihat dari sudut pandang estetika. Lebih dalam lagi, pada setiap laku tradisi budaya --yang melekat dalam masyarakat tradisional-- ada bermacam simbol-simbol yang dapat kita serap maknanya.

Tilaria Padika dalam ulasannya, mengurai mengenai makna yang terdapat dalam simbol-simbol yang jamak dijumpai dalam tradisi masyarakat Manggarai, Flores. Misalnya, Makna dari Sawah lodok (spider web rice field) dalam tradisi kebudayaan Manggarai. Sawah berbentuk jaring laba-laba tersebut bukan hanya enak dipandang, melainkan juga menyiratkan makna filosofis yang mendalam.

Spider web field rice di Lingko Meler. Foto: KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Spider web field rice di Lingko Meler. Foto: KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Ekspresi nilai-nilai budaya di Kalangan masyarakat Manggarai juga teraplikasikan pada arsitektur bangunan dan lingkungan yang didominasi bentuk lingkaran. Hal ini seperti terlihat pada arsitektur rumah adat Manggarai mbaru gendang yang berbentuk mbaru niang (mengerucut).

Titik pusat pada petak sawah berbentuk formasi jaring laba-laba dan arsitektur rumah berbentuk kerucut merupakan simbol bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses titik pusat, kepada Yang Ilahi.

Setelah melihat keunikan budaya yang ada di Manggarai, bolehlah kita rehat sejenak sambil menikmati angin pantai dan matahari tenggelam di Kupang.

Sunset denga pilar dermaga lama I Dokpri
Sunset denga pilar dermaga lama I Dokpri
Ada istilah yang entah siapa yang buat, bahwa "sunset tak pernah salah". Momen sendu nan magis tersebut berhasil direkam oleh Arnold Adoe dalam "Menikmati "Sunset" Pantai Kopan di Kota Kupang". Di tengah suasana kota Kupang yang cukup panas saat siang hari, bahkan mencapai 30 derajat celcius, matahari begitu dibenci. Namun sebaliknya, saat menjelang sore, benda yang sama sungguh dinanti kehadirannya.

Salah satu spot menarik menikmati senja di Kupang adalah Pantai Kopan. Alasan tempat ini terasa eksotis adalah suasana air di sana begitu tenang. Selepas pandang ke barat letak matahari tenggelam, tampak siluet sebuah pulau kecil bernama Pulau Semau.

Selain itu, di Pantai Kopan terdapat banyak kuliner dan ada beberapa bangunan bersejarah yang menggambarkan warisan wajah Kupang masa lalu. Tak heran, kalau hampir setiap hari, Pantai Kopan ramai dikunjungi para penduduk dari sekitaran kota Kupang.

Tak hanya menikmati, selayaknya keindahan alam perlu dikelola supaya terealisasai konsep pariwisata yang berkelanjutan. Karenanya, ada pula Kompasianer yang tidak hanya menyoroti tentang potensi alam, tetapi juga mengajak kita memiliki wawasan lingkungan.

Janice, merangkum fakta melalui "Dampak Industri Pariwisata Bahari terhadap Keseimbangan Ekosistem Kelautan"di Indonesia. Ia menyoroti di antaranya fenomena di Bali, Lombok, sampai ke Kepulauan Karimun Jawa.

Sampah plastik berserakan di pinggir Pantai Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores, NTT, Rabu (30/8/2017); foto oleh Markus Makur (2017).
Sampah plastik berserakan di pinggir Pantai Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores, NTT, Rabu (30/8/2017); foto oleh Markus Makur (2017).
Tren wisata bahari berkembang pesat, mengeksploitasi pesisir hingga ke tengah laut (dalam laut). Di Indonesia, meski potensi wisata bahari berkembang pesat, tetapi tidak diimbangi dengan pemahaman dan kesadaran untuk menjaga ekosistem lingkungan. Misalkan, dalam pengelolaan sampah di darat dan di laut, air, terumbu karang, illegal fishing, dan dampak buruk lain dari sebuah pembangunan infrastruktur.

Wisata yang seharusnya memperkaya pengetahuan manusia akan kekayaan ekosistem laut Indonesia justru menyebabkan kerusakan alam itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan program (salah satunya) konservasi terumbu karang yang mengikutsertakan wisatawan dan penduduk lokal sebagai pelaku utama dalam memelihara ekosistem laut, terutama ekosistem terumbu karang.

Pemahaman yang kurang baik dalam menjaga lingkungan, hal lain yang sering dijumpai adalah fenomena salah kaprah dalam pengelolaan tempat wisata. Seperti pembangunan infrastruktur yang asal-asalan, fasilitas umum yang tidak memenuhi standar, serta kurangnya keterlibatan masyarakat sekitar.

Ketiga rangkaian tersebut idealnya harus diperbaiki dan bersinergi, sebab, jangan sampai, tempat wisata yang awalnya diharapkan menjadi ladang berkah, dikarenakan manajemen pengelolaan buruk, malah berubah jadi musibah; kerusakan lingkungan dan kesenjangan sosial.

Dokumentasi pribadi Diaz Roseno
Dokumentasi pribadi Diaz Roseno
Selain permasalahan manajemen lingkungan, adapula Kompasianer yang menyoroti terkait fasilitas umum di tempat wisata yang keliru atau salah sasaran. Dizzman dalam amatannya saat berkunjung ke Gili Trawangan melihat terkait minimnya penggunaan teks Bahasa Indonesia pada ragam media informasi di berbagai daerah wisata. Kritiknya ditulis dalam artikel "Tiada Bahasa Indonesia di Gili Trawangan".

Menurutnya, tingginya persentase kunjungan wisatawan mancanegara dibanding wisatawan asing seharusnya tak menjadi alasan disingkirkannya Bahasa Indonesia dari ragam media informasi. Sebaliknya, Bahasa Indonesia dan bahasa daerah seharusnya menjadi bahasa yang utama digunakan untuk mendukung bertumbuhnya angka kunjungan wisatawan domestik.

Penyingkiran Bahasa Indonesia dari media informasi dapat menciderai undang-undang, selain dapat memunculkan kebingungan pengunjung domestik.

***

Cerita, kisah, kesan atau berita terkait #KabarDariSeberang regio Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, selengkapnya dapat Anda nikmati DI SINI

(KML)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun