Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama FEATURED

Wajah Pariwisata yang Tak Selalu Ceria di Bali dan Nusa Tenggara

21 Juni 2018   15:12 Diperbarui: 9 Agustus 2020   10:30 2842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sorni sedang memilah batu sikas di pantai Beraban.(Foto Dokumentasi Wayan Budiartha)

Titik pusat pada petak sawah berbentuk formasi jaring laba-laba dan arsitektur rumah berbentuk kerucut merupakan simbol bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses titik pusat, kepada Yang Ilahi.

Setelah melihat keunikan budaya yang ada di Manggarai, bolehlah kita rehat sejenak sambil menikmati angin pantai dan matahari tenggelam di Kupang.

Sunset denga pilar dermaga lama I Dokpri
Sunset denga pilar dermaga lama I Dokpri
Ada istilah yang entah siapa yang buat, bahwa "sunset tak pernah salah". Momen sendu nan magis tersebut berhasil direkam oleh Arnold Adoe dalam "Menikmati "Sunset" Pantai Kopan di Kota Kupang". Di tengah suasana kota Kupang yang cukup panas saat siang hari, bahkan mencapai 30 derajat celcius, matahari begitu dibenci. Namun sebaliknya, saat menjelang sore, benda yang sama sungguh dinanti kehadirannya.

Salah satu spot menarik menikmati senja di Kupang adalah Pantai Kopan. Alasan tempat ini terasa eksotis adalah suasana air di sana begitu tenang. Selepas pandang ke barat letak matahari tenggelam, tampak siluet sebuah pulau kecil bernama Pulau Semau.

Selain itu, di Pantai Kopan terdapat banyak kuliner dan ada beberapa bangunan bersejarah yang menggambarkan warisan wajah Kupang masa lalu. Tak heran, kalau hampir setiap hari, Pantai Kopan ramai dikunjungi para penduduk dari sekitaran kota Kupang.

Tak hanya menikmati, selayaknya keindahan alam perlu dikelola supaya terealisasai konsep pariwisata yang berkelanjutan. Karenanya, ada pula Kompasianer yang tidak hanya menyoroti tentang potensi alam, tetapi juga mengajak kita memiliki wawasan lingkungan.

Janice, merangkum fakta melalui "Dampak Industri Pariwisata Bahari terhadap Keseimbangan Ekosistem Kelautan"di Indonesia. Ia menyoroti di antaranya fenomena di Bali, Lombok, sampai ke Kepulauan Karimun Jawa.

Sampah plastik berserakan di pinggir Pantai Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores, NTT, Rabu (30/8/2017); foto oleh Markus Makur (2017).
Sampah plastik berserakan di pinggir Pantai Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores, NTT, Rabu (30/8/2017); foto oleh Markus Makur (2017).
Tren wisata bahari berkembang pesat, mengeksploitasi pesisir hingga ke tengah laut (dalam laut). Di Indonesia, meski potensi wisata bahari berkembang pesat, tetapi tidak diimbangi dengan pemahaman dan kesadaran untuk menjaga ekosistem lingkungan. Misalkan, dalam pengelolaan sampah di darat dan di laut, air, terumbu karang, illegal fishing, dan dampak buruk lain dari sebuah pembangunan infrastruktur.

Wisata yang seharusnya memperkaya pengetahuan manusia akan kekayaan ekosistem laut Indonesia justru menyebabkan kerusakan alam itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan program (salah satunya) konservasi terumbu karang yang mengikutsertakan wisatawan dan penduduk lokal sebagai pelaku utama dalam memelihara ekosistem laut, terutama ekosistem terumbu karang.

Pemahaman yang kurang baik dalam menjaga lingkungan, hal lain yang sering dijumpai adalah fenomena salah kaprah dalam pengelolaan tempat wisata. Seperti pembangunan infrastruktur yang asal-asalan, fasilitas umum yang tidak memenuhi standar, serta kurangnya keterlibatan masyarakat sekitar.

Ketiga rangkaian tersebut idealnya harus diperbaiki dan bersinergi, sebab, jangan sampai, tempat wisata yang awalnya diharapkan menjadi ladang berkah, dikarenakan manajemen pengelolaan buruk, malah berubah jadi musibah; kerusakan lingkungan dan kesenjangan sosial.

Dokumentasi pribadi Diaz Roseno
Dokumentasi pribadi Diaz Roseno
Selain permasalahan manajemen lingkungan, adapula Kompasianer yang menyoroti terkait fasilitas umum di tempat wisata yang keliru atau salah sasaran. Dizzman dalam amatannya saat berkunjung ke Gili Trawangan melihat terkait minimnya penggunaan teks Bahasa Indonesia pada ragam media informasi di berbagai daerah wisata. Kritiknya ditulis dalam artikel "Tiada Bahasa Indonesia di Gili Trawangan".

Menurutnya, tingginya persentase kunjungan wisatawan mancanegara dibanding wisatawan asing seharusnya tak menjadi alasan disingkirkannya Bahasa Indonesia dari ragam media informasi. Sebaliknya, Bahasa Indonesia dan bahasa daerah seharusnya menjadi bahasa yang utama digunakan untuk mendukung bertumbuhnya angka kunjungan wisatawan domestik.

Penyingkiran Bahasa Indonesia dari media informasi dapat menciderai undang-undang, selain dapat memunculkan kebingungan pengunjung domestik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun