Politik dan Drama di Balik Nama Jalan Kota Malang
Setiap kota biasanya memiliki simbol, dari nama patung sampai nama jalan. Menurut Kompasianer Himam Miladi, terlebih biasanya simbol tersebut mempresentasikan sebuah identitas dan pengakuan kekuasaan.
Salah satu simbol yang sering terlupakan adalah nama jalan. Karena ia hanya berupa nama dan cenderung tidak kelihatan karena diletakkan di papan di jalanan. Padahal, tidak menutup kemungkinan ada sejarah panjang berupa politik dan drama kemanusiaan dalam setiap proses penamaan sebuah jalan.
Berdasarkan periodenya, hampir setiap daerah atau kota yang pernah mengalami penjajahan, minimal menjalani 3 kali proses pergantian nama jalan, yakni periode kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, dan pasca kemerdekaan. Kota Malang adalah salah satunya.
Citra kota Malang terbentuk sebagai kota kawasan kolonial karena arus urbanisasi dan migrasi warga Eropa ke Kota Malang yang kian deras ketika itu.
Pergantian nama jalan yang pertama terjadi ketika Jepang menginjakkan kaki di Indonesia. Segera setelah Jepang masuk kota Malang, semua ruas jalan yang berbau Belanda dinasionalisasi.
Lalu nama-nama jalan ini bertahan hingga era pemerintahan Presiden Soekarno. Kemudian di era Presiden Soeharto, nama-nama jalan diganti secara besar-besaran, diubah demi kepentingan politik rezim yang berkuasa.
Pasar Sapi dan Hilangnya Tradisi Boro
Masih di kawasan Malang, kali ini Kompasianer Imam Maliki Mahfoudz menceritakan kisahnya tentang Pasar Sapi Pagak di masa dulu dan kini.
Pasar sapi ini letaknya di bagian selatan, berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Kepanjen, Kabupaten Malang. Menurut Imam, sekitar tahun 1990-an dulu sering beberapa orang menggiring sapi menyusuri jalan raya. Kegiatan ini merupakan tradisi boro. Mereka terus berjalan, dan hanya berhenti di beberapa titik yaitu tempat pasar hewan berada.
Namun, pasar Pagak sekarang sudah berbeda dari yang dahulu. Para pedagang sapi kini lebih suka menggunakan pick up dan truck untuk mengangkut hewan yang akan dijual.