Jakarta kini lebih sering sepi. Jalanan lengang. Tetap di rumah adalah pilihan terbaik. Namun hari itu Nugroho tetap bertugas seperti biasa. Ia hendak pergi ke Pintu III Kelapa Gading.
"Agak susah mendapat kendaraan umum," katanya, ketika menyadari sudah dua hari ini Jakarta memanas.
Sepanjang  jalan arah Priok dan sekitarnya itu ia melihat asap hitam membumbung. Tinggi sekali. Gerombolan massa bergerak. Ingin rasanya ia pulang, tapi hari itu ia terjebak dalam kerumunan (dan, kerusuhan).
Angkutan kota ia hentikan. Setelah di dalam baru ia menyadari sesuatu yang  janggal: penumpang lain meminum minuman kaleng dengan bentuk dan merek yang sama.
Ia turun untuk memastikan keadaan. Nugroho lalu melihat  apa yang terjadi di jalan Pemuda: massa tumpah ruah. Merusak, membakar,  menjarah, sampai tanaman pot di pinggir jalan dirusak!
Suasana semakin tidak kondusif. Nugroho ingin kembali ke indekos di daerah Mampang Prapatan. Polsek Matraman telah habis hangus dibakar. Sejauh mata memandang seakan-akan setiap sudut kota diisi kekacauan. Dan ketakutan.
Orang-orang  membawa apa saja yang ada dari dalam toko swalayan. Ketika ia melihat seorang membawa beberapa kotak susu untuk anak dengan dua kantung plastik besar, ada yang kemudian menghampiri orang itu sambil memohon. Wajahnya mengiba, "tolong, untuk anak saya di rumah."
***
Jakarta, 19 Mei 1998
Puluhan ribu mahasiswa dari puluhan perguruan tinggi di wilayah Jabodetabek  "menduduki" gedung DPR/MPR. Mereka bukan saja memadari pelataran DPR, tapi juga menaiki kubah gedung. Gedung DPR/MPR sudah dikuasai mahasiswa.
Ini merupakan demonstrasi terbesar yang pernah dilakukan mahasiswa sepanjang 30 tahun terakhir. Sampai malam mereka tetap bertahan di sana. Ada yang tetap orasi sampai di sudut-sudut pelataran gedung membacakan puisi.