Bogor, 11 Mei 1998
Dari dalam penjara Emon dan kedua temannya mendapat intimidasi luar biasa. Diinterogasi, dipukul, diminta mengaku. Selalu seperti itu. Mereka bahkan merasakan sakit itu dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Barulah dari sela-sela waktu penyiksaan itu Emon menuliskan surat untuk Beddy Iriawan, Dekan Fisip, Universitas Djuanda. Ia ceritakan seluruh kronologis dari awal mereka demo, bentrok dengan polisi, ditangkap, dan menerima penyiksaan selama ditahan!
Tidak terang-terangan, tentu saja, melainkan menitipkannya kepada Mariana Sutiana ketika menjenguk ke penjara. Inti surat itu adalah mahasiswa sedang disudutkan oleh pihak kepolisian.
Namun, pada saat yang bersamaan kabar tewasnya Letda Dadang kian menyebar. Pihak kampus akhirnya membuat semacam Tim Pencari Fakta dan Tim Opini guna memperjelas kejadian yang sebenarnya.
Ir. Apendi Arsyad, Wakil Dekan Fakultas Peternakan, mengetuai Tim Opini, sedangkan Tim Pencari Fakta diketuai Wakil Rektor III, Pak Amin.
Sesaat setelah SK Rektor turun, kedua tim bekerja. Banyak fakta yang didapat dari beberapa pengakuan mahasiswa yang menguatkan bahwa Emon dan dua orang lainnya tidak membunuh.
Hal itu kemudian diperkuat dengan pengakuan H. Ahmad Syarbani, Kepala Biro Pembinaan Mahasiswa dan Alumni Universitas Djuanda, kalau Letda Dadang memang memiliki penyakit jantung.
"Tapi memang direkayasa. Keluarga disuruh diam. Bahkan saya sendiri yang menyampaikan kepada Kapolri bahwa tidak ada sama sekali kejadian mahasiswa yang memukul polisi," katanya.
***
Bogor, Mei 1998