Belum selesai dibuat resah atas kericuhan yang terjadi di rutan Mako Brimob, Depok, Jawa Barat, Selasa (08/5/2018), masyarakat Indonesia kembali dikejutkan bom bunuh diri di tiga gereja berbeda di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018) pagi. Total, korban dari ledakan di 3 gereja dilaporkan sebanyak 13 orang. Bahkan dua di antaranya adalah anak kecil berusia 11 dan 8.
Belum sampai di situ, peristiwa serupa kembali terjadi malamnya di Sidoarjo dan di Mapoltabes Surabaya keesokan harinya. Sehari berselang giliran Polda Riau yang mendapati aksi teror.
Banyak yang menilai rentetan peristiwa itu adalah reaksi kemarahan teroris setelah kejadian di Mako Brimob. Namun ada juga yang mengatakan, penyebab terorisme di Indonesia didasari oleh kemiskinan (poverty), ketidakadilan (injustice), dan kesenjangan sosial (social inequality).
Tiga persoalan dasar yang menimbulkan ketidakberdayaan dan mendorong kelompok-kelompok yang merasa dirugikan melakukan perlawanan, dan dalam proses perlawanan ini isu elemen 'agama' kerap digunakan sebagai senjata pengobar gerakan perlawanan.
Karin von Hippel pun mengatakan bahwa paham terorisme akan tumbuh subur di masyarakat yang miskin, dan kemiskinan adalah penyebab terorisme sudah tidak berlaku lagi.
Meski teori itu ditentang keras oleh James A Piazza yang menyatakan ada hubungan sebab akibat yang lemah antara kemiskinan dan terorisme.
Argumen kedua, meski tidak begitu populer, sebaliknya berargumen bahwa interpretasi terhadap ajaran-ajaran elemen agama itulah yang mendorong segelintir kelompok melakukan gerakan-gerakan teror." (dalam Visensio Bugis hal: 3).
Mungkin James Piazza bisa jadi benar bila melihat latar belakang dari otak bom Surabaya, Dita Oerpriarto dan keluarganya, yang berasal dari keluarga berkecukupan.
Dalam tayangan ILC, Selasa (15/5), misalnya, tetangga Dita, Binawan Widyarto memberikan keterangan bahwa, tidak ada tanda-tanda umum yang tampak dari ciri-ciri seseorang beraliran radikal atau sebagai teroris.
"Dalam sehari-hari tidak kelihatan seperti orang yang mempunyai nyali seperti itu. Kalau saya lihat si (Dita) baik, pakaiannya juga biasa. Istrinya juga berjilbab biasa. Warna-warni. Pak Dita juga suka memakai jeans, baju biasa. Bukan baju-baju gamis. Wajahnya juga biasa. Polos. Tanpa kumis tanta jenggot," katanya.
Justru, Binawan mengatakan bahwa Dita merupakan keluarga terbilang mampu. Sebab Dita memiliki bisnis minyak yang harga jualnya tak bisa dibilang murah.