Yang terpenting dalam novel (atau karya lain pada umumnya), kata Eka Kurniawan, akan kembali tentang manusia. Tentang bagaimana mereka menghadapi dan terdampak oleh suatu peristiwa, yang nyata di luar kuasa mereka.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin bisa lepas dari fenomena yang ada. Yang barangkali setiap fenomena itu dibuat dan ditemukan sendiri oleh manusia sendiri. Fenomena (akan selalu) mengelilingi manusia.
Dan jika melihat muatannya dalam sebuah karya, misalnya, mungkin akan semakin sedikit yang membahas dengan (lebih) dalam perihal manusia(nya). Konflik sekadar hadir untuk buru-buru diakhiri. Bermain-main dengan diksi. Perselisihan antar dua manusia yang tidak melibatkan apa-apa dan siapa-siapa.
Jika mengutip esai "Berapa Dosis Imajinasi dalam Cerpen?" yang ditulis Radna Tegar Zakaria, cerpen-cerpen (atau karya lain pada umumnya) yang dimuat di media massa jarang bertujuan membawa misi kemanusiaan. Singkatnya, segala hal yang terkait dengan "kemanusiaan" itu mesti memiliki sumbangsing pada manusia itu sendiri untuk tetap terhormat.
Sekadar contoh, seperti melihat karya-karya (alm.) Danarto. Ia hadir melalui karya-karyanya, baik itu lukisan atau tulisan, membawa dunia non-realis (mungkin ini istilah yang sedikit tepat untuk menyandingkan realis, selain surealis). Hal-hal kecil dalam kehidupan, kejadian atau peristiwa, kemudian memberinya arah dan tujuannya sendiri.
Sesuatu yang mistik atau benda mati sekalipun oleh (alam) Danarto dihidupkan. Imajinasi memiliki peran penting dalam membuat sebuah karya menjadi makin menarik.
Namun yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah sebuah karya mesti melulu seperti itu?
***
Manusia adalah makhluk yang berproses; berkembang melalui satu tahapan ke tahapan berikutnya. Itulah yang membuat manusia menjadi satu-satunya makhluk hidup yang unik. Bisa ditakar dengan angka, tapi tidak melalu begitu. Bukankah begitu sifat alami manusia?
Dan inilah, barangkali, yang membuat sebuah karya berbeda antara satu manusia dengan lainnya: kepekaan melihat kondisi sosial.
Baik dan buruknya sebuah karya bisa saja relatif. Namun, dari cara seorang penulis peka terhadap permasalahan sosial kemudian bisa menuangkan dalam sebuah karya akan terasa. Masalah menjadi hidup.
Konflik dalam cerita akan terus berupaya untuk mempertahankan atau (mencoba) menyempurnakan setiap karakter, alur dan latar.
Teddy dan Ibu Thompson yang ditulis pertama kali Elizabeth Silance dalam cerpen "Three Letters from Teddy" menyebar secara masif. Majalah Home Life, yang pertama kali menerbitkan cerpen tersebut, bahkan mengakui bahwa cerpen tersebut merupakan cerita paling diminati sepanjang sejarah majalahnya.
Atas nama kreatifitas, kisah itu diubah (atau dimodifikasi, jika terasa tidak berlebihan) dan diberi bumbu-bumbu drama lainnya. Kisah antara Teddy dan Ibu Thompson yang selalu dianggap menjadi kisah nyata oleh orang-orang adalah contoh kecilnya. Tentu dengan harapan kalau kisah seperti itu bisa terjadi dalam kehidupan (nyata) sehari-hari.
Sama halnya seperti kisah Dilan 1990. Orang-orang menduga, mencari tahu siapa tokoh Dilan sebenarnya.
Harapan itu bisa muncul karena, sekali lagi, penulisnya bisa mendekatkan kisah-kisahnya kembali berbicara tentang manusia. Membahas yang paling dekat pada hal-hal sekecil apapun tentang manusia.
***
Dalam cerita "Kupu-kupu Pengantar Pertanda" yang ditulis eRHa bisa jadi contoh dekat di Fiksiana. Sederhananya kisah tersebut membicarakan kebiasaan manusia yang menangkap pesan-pesan di luar kehendaknya. Kehendak yang digunakan oleh eRHa adalah kupu-kupu.
Kupu-kupu itu mati, seketika jantungnya berdebar keras. "Jika kupu-kupunya mati, tamunya tidak jadi berkunjung Mar" suara ibunya terngiang jelas di telinga dan pikirannya.
Hal-hal semacam itu, secara sadar atau tidak, masih dilakukan oleh kebanyakan masyarakat kita. Kupu-kupu dilambangkan sebagai sesuatu yang cantik, memesona, dan paling tidak, adalah sesuatu yang baik. Maka, ketika kupu-kupu yang (dianggap) sempurna itu tidak datang atau mati, seakan memberi kesan buruk.
Namun, nampaknya eRHa tidak ingin hal itu terjadi. Maka dengan kekuasaan absolut atas karyanya, eRHa menutup kisahnya dengan bahagia.
Maurita mendekatinya, sayap-sayapnya tetap terkepak lembut, meski ujung jari Maurita berhasil menyentuhnya. "Tamunya memang istimewa" Ibunya berbisik disampingnya.
Atau contoh lainnya bisa dilihat dari cerpen "Negeri dalam Sebuah Botol" yang ditulis Via Mardiana. Dalam cerpen tersebut pembaca dibawa mengunjungi sebuah tempat di mana tidak ada lagi hamparan padi atau ikan di lautan. Via Mardiana membayangkan itu akan terjadi pada  tahun 3018.
Sebuah kisah tragedi memang: bagaimana mungkin masih ada manusia bisa hidup?
Masih dalam imajinasinya, Via Mardhani menjawab itu dengan sebuah kapsul. Di mana untuk sekali makan, bisa cukup bertahan hingga satu tahun.
Imajinasi mempunyai peran penting dalam cerita Via Mardiani ini. Tidak mudah memang, sebab mesti ada aspek lain yang mesti dihidupkan dalam cerita seperti suasana dan visualisasi.
Kesulitan lainnya, bisa dilihat dari cerpen "Negeri dalam Sebuah Botol", yaitu menjaga imajinasi itu: berlompatan antarmasa waktu; hari ini, 3018 dan 4018.
Namun yang kemudian menjadi menarik dari cerpen itu adalah hubungan antarmanusia yang lintas masa waktu. Saling bertanya kabar dan saling mengingatkan. Indah sekali.
***
Ketajaman (dan juga kepekaan) menangkap gerak bahasa yang sampai sekarang belum banyak dilanjutkan penulis kita. Kadang masalah dalam kehidupan manusia itu sendiri dikecilkan oleh perkembangan dan perubahan zaman. Dan sastra, semestinya, tetap hadir, mengikuti setiap langkah manusia, meski dalam cerita.
(HAY)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H