Berbeda halnya dengan Kompasianer Faizal Chandra, ia mengatakan HOTS sebenarnya sudah muncul pada tahun lalu. Dan, diakunya, soal itu sangat sulit dikerjakan.
"Soal HOTS di Ujian Nasional rupanya telah ada sejak ujian tahun 2016," tulisnya. "Dan penulis adalah salah satu orang pertama kali mendapat soal dengan penalaran tingkat tinggi dan membuatnya kesulitan menjawab soal.
Ia juga terkaget mendapat soal seperti itu, sebab tidak terdapat dalam kisi-kisi dan sangat berbeda dengan soal try out. Di mana seharusnya soal try out lebih sulit dari soal UN sebenarnya.
"Bahkan di tahun penulis soal try out-nya tidak ada soal HOTS namun di soal UN sebenarnya ada. Dan inilah yang membuat penulis tidak habis pikir dengan pemerintah mengapa hal ini bisa terjadi," tulisnya.
Meski begitu, ia tetap menilai bahwa HOTS cukup penting dan perlu. Hanya ia berharap pemerintah lebih siap dan memberikan kisi-kisi yang jelas agar para siswa tidak kebingungan.
Pendapat lain, Kompasianer Sadri Adam, menilai pemerintah semestinya menimbang dua hal berkaitan: kemampuan siswa dan kompetensi pengajar atau guru.
Intinya, para siswa harus selalu mengasah kemampuannya dalam menganalisis setiap butir soal di bawah bimbingan guru dalam memberikan pemahaman yang tajam, fokus dan terukur. Dan diharapkan mampu melakukan kolaborasi dan transfer knowledge yang baik dengan sesama peserta didik.
Sedangkan sang pengajar, harus melakukan pembiasaan dalam proses pembelajaran HOTS. Selain itu juga Guru harus mampu membuat soal HOTs dengan meminimalisir soal-soal yang menitikberatkan pada kemampuan daya ingat peserta didik, namun lebih kepada bagaimana mengaplikasikannya ke berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari.
Mendikbud Muhadjir memang sudah meminta maaf atas kejadian ini. Melihat permasalahan ini rasanya memang tidak semudah meminta maaf untuk diselesaikan. Butuh proses tidak sederhana.
Namun bukan berarti pemerintah berpangku tangan. Persoalan gonta-ganti kurikulum adalah secuil dari segudang permasalahan pendidikan di Indonesia.
Pemerintah mesti memiliki solusi tepat sasaran dan berjangka panjang. Agar, kejadian serupa tidak terulang lagi dan apabila pemerintah tak ingin dinilai melakukan "malpraktik" pendidikan, seperti kata KPAI.