Ada guyon lawas mengenai buku yang, barangkali, juga kamu tahu: minat baca masyarakat Indonesia sebenarnya tinggi, hanya saja minat membelinya yang rendah. Cerita semacam ini sebenarnya menyiratkan satu hal, bahwa harga buku-buku di Indonesia memang masih relatif mahal. Jika boleh membandingkan, harga 1 buku setara dengan harga secangkir kopi yang kita bayarkan di kedai kopi 'sungguhan'.
India, misalnya, yang memiliki tingkat ekonomi tidak jauh berbeda dengan Indonesia, masih bisa meregulasi harga-harga buku yang diperjualbelikan. Ada subsidi khusus untuk buku. Dari harga kertas hingga ongkos produksinya.
Dalam laporan buletin Atase Pendidikan KBRI New Delhi VII, untuk buku-buku sekolah, pemerintah India menunjuk lembaga Independen, NCERT sebagai penerbit utama.
Tidak hanya itu, NCERT pun merangkap lembaga penelitian yang khusus memproduksi kebutuhan pembelajaran pelajar di India. Itu karena 90 persen sekolah di India adalah Sekolah Negeri yang dibawahi langsung Pemerintah. Sehingga, untuk produksi buku dalam jumlah besar dapat dilakukan dengan sangat murah.
Hal ini pernah dirasakan langsung oleh Muhammad Ramdhani saat mengunjungi India. Setibanya di bandara ketika hendak kembali ke Indonesia, ia menemukan harga-harga buku yang ditawarkan sangat murah.
Harga rata-ratanya sekitar dua ratus rupee (jika dirupiahkan kisaran Rp 40 ribu). Ada dua buku yang akhirnya ia beli: (1) "The Monk who sold his Ferari" karya Robin Sharma, seharga 195 rupee dan (2) "Men In Steel", buku tentang kisah sukses taipan India, seharga 95 rupee.
Melihat apa yang Pemerintah India lakkan, lantas bagaimana dengan Indonesia? Apa yang pemerintah Indonesia lakukan, yang secara khusus, meregulasi buku-buku?
Seperti sudah kita ketahui, Pos Indonesia memulai program pengiriman buku bebas biaya, setiap tanggal 17, setiap bulannya. Ini merupakan inisiasi Pemerintah dengan penggiat literasi dan/atau donatur buku untuk memudahkan pendistribusiannya ke seluruh Indonesia. Syaratnya hanya satu, setiap pengiriman maksimal seberat 10 kg. Program ini semacam implementasi "BUMN untuk Negeri" seperti yang dicanangkan Pemerintah.
Setidaknya itu adalah sedikit upaya yang pemerintah Indonesia sudah lakukan. Juga melibatkan berbagai pihak untuk bersama-sama memperbaiki buruknya angka literasi kita. Berhasil atau tidak, yang jelas sudah ada usahanya terlebih dulu.
Regulasi Buku a la Pemerintah Indonesia
Pemerintah lewat Kemdikbud pernah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk buku sekolah elektronik (BSE) versi cetak. Cara Pemerintah menekan harga buku dengan membeli hak cipta dari penerbit atau penulis.
"Jika pemerintah ingin menerapkan secara umum HET ini dengan asumsi agar harga buku murah, pihak yang dirugikan adalah para penulis yang sudah bersusah payah menulis buku, tetapi malah dihargai fisiknya. Artinya, membeli buku tanpa berisi tulisan dan berisi tulisan sama saja," tulis Bambang Trim dalam artikelnya Misteri Penetuan Harga Buku.
Hitung-hitungan Harga Jual Buku
Sebagai praktisi buku, Bambang Trim nampaknya paham betul bagaimana proses penerbitan buku. Dalam artikelnya yang berjudul Misteri Penentuan Harga Buku, ia meresahkan bagaimana buku Risalah Tuntunan Shalat yang ditulis Drs. Moh. Rivai telah cetak ulang ratusan kali dijual dengan harga 6ribu rupiah? Bagaimana dengan royalti kepada penulis?
Selalu ada faktor X yang membuat harga buku tersebut sampai kepada pembaca (red. Pembeli buku). Setidaknya ada 7 faktor jika hendak menghitung harga cetak buku, hal-hal yang menjadi unsur kalkulasi adalah (1) ukuran buku; (2) tebal halaman buku; (3) jenis kertas isi dan jenis kertas kover, termasuk gramaturnya; (4) warna cetak isi (B/W, duotone, FC); (5) warna cetak kover dan bidang cetak (apakah satu muka atau bolak-balik); (6) jenis jilid, apakah kover lunak atau kover keras (hard cover); dan terakhir (7) jumlah cetakan (tiras/oplag).
Pada umumnya penerbit menggunakan rumus "Faktor X dikali 4 sampai 5 (guna mendapat keuntungan)". Jika harga cetak Rp 20ribu per eksemplar, tulis Bamabang Trim, harga jual menjadi Rp 80-100 ribu per eksemplarnya.
Harga rata-rata buku di Indonesia yang telah diriset oleh Bambang Trim sekitar 40ribu rupiah. Namun, ada misteri lain yang ditemui, yaitu: harga buku di atas 100ribu rupiah! Dalam proyek buku Api Sejarah karya Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, yang dilakukan Bambang Trim adalah mencetak 5.000 eksemplar pada cetakan pertama untuk menekan harga per eksemplar.
Namun, selain mencetak buku melalui penerbit, kini kitapun bisa mencetak buku sendiri atau lebih dikenal dengan istilah self-publishing. Satu di antara yang menggeluti bisnis ini adalah Indie Book Corner (IBC). Kantor mereka bermarkas di Jl. Wahid Hasyim No. 3, Gorongan, Caturtunggal, Depok, Sleman Yogyakarta.
Self-publishingmemang begitu populer di Indonesia. Namun, sebagai contoh, awalnya buku novel "Supernova" yang ditulis Dewi Lestari dicetak secara mandiri dan mendapat respon bagus dari pembaca hingga akhirnya terus menerus cetak ulang. Barulah kemudian berpindah ke penerbit lainnya. Dicetak massal dengan kekuatan modal bisa menekan harga lebih murah.
Indie Book Corner membantu orang-orang seperti Dewi Lestari ini. Membuka jasa konsultasi buku, percetakan, bahkan sampai jasa editing, proof reading, layout, dan desain sampul buku. Tidak ada aturan khusus, hanya saja Indie Book Corner menegaskan, "jika terlalu tipis, nanti tidak bisa di-bending (jilid lem panas seperti buku-buku pada umumnya), melainkan dijahit kawat (straples). Akibatnya buku tidak terlihat bagus. Mirip buku tulis."
Pengecer Buku di Toko Daring
Menjamurnya toko buku daring biasanya berbanding lurus dengan ragam jenis buku dan harganya. Kedai Boekoe adalah satu di antaranya. Pada awal tahun 2015, bermula dari menjual buku-buku karena hendak pindahan rumah, akhirnya usaha tersebut berlanjut sampai sekarang. Zelva Wardi sebagai satu-satunya orang yang ada di balik Kedai Boekoe tersebut.
Barulah sekitar Maret atau April 2015, Kedai Boekoe mulai rutin membuka kedainya. Meski kemudian sempat menyesal karena telah menjual koleksi buku-bukunya, kata Zelva Wardi, sebab buku-buku tersebut relatif sulit untuk didapatkan lagi. Seperti yang diungkapkannya, dari pertama kali berdiri sampai sekarang, "Kedai Boekoe baru hanya menjual buku-buku yang digemarinya."
Namun, lambat-laun karena permintaan dan  referensi bacaannya bertambah dan bertumbuh, ia tidak hanya sekadar menjual buku yang menarik untuk sendiri, melainkan oranglain. Kedai Boekoe juga belum terlalu serius mengelola toko buku miliknya. Sampai sekarang, malah Zelva Wardi tidak membuat laporan bulanan terhadap buku-buku yang laku. Tapi, paling tidak, ia memiliki paling tidak 10 stok setiap judul bukunya.
"Tidak ada buku mana yang lebih laku, tetapi tergantung hype yang muncul saat melakukan promosi di Twitter dan Instagram. Â Biasanya jika dipromosikan 2-3 kali sehari, itu lebih cepat habisnya," ungkapnya.
Harga yang ditawarkan pun relatif menggiurkan: selalu ada potongan harga untuk setiap buku. Kisaran 10-20 persen untuk setiap buku itu termasuk lumayan, bukan? Angka tersebut diambil dari potongan yang diberikan penerbit kepada reseller seperti Kedai Boekoe ini. Dan, dalam sebulan, Kedai Boekoe mampu menjual 150 - 250 buku. Belum lagi ditambah buku keluaran terbaru yang diterbantu oleh penulisnya sendiri melakukan promosi.
Mempertemukan Buku dengan Pembaca
Jika kita mencari tagar #LiterasiBergerak pada fitur pencarian Twitter dan Facebook, akan kita dapati sebuah upaya anak muda Indonesia yang menyalurkan buku-buku hingga pedalaman Indonesia. Buku-buku layak baca hasil sumbangan atau donatur seseorang, oleh mereka didistribusikan sendiri bahkan hingga ke perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia.
Senada dengan hal tersebut, Bambang Setyawan pernah melakukan reportase di base camp Thekelan, Batur, Getasan, Kabupaten Semarang. Di sana, ada sebuah taman baca yang bernama Perpus Gunung tepat di pintu masuk pendakian Gunung Merbabu.
Dari reportase tersebut, Tukiman membuat Perpus Gunung di base camp Thekelan pada awal 2017 dari rumah warga yang tidak lagi dihuni. Bangunan rumah itu cukup luas, kira-kira bisa menampung paling tidak sekitar 30 pendaki. Jadi, selain untuk melepas lelah, pendaki bisa saling berbagi ilmu atau wawasan kepada pengunjung Perpus Gunung tersebut. Budayawan seperti Sujiwo Tedjo juga pernah ke sana.
Atau di Malang, misalnya. Himam Miladi melaporkan sebuah Angkutan Perkotaan (Angkot) dijadikan perpustakaan berjalan. Angkot Baca Malang, namanya, jurusan Arjosari -- Landungsari. Bentuknya seperti Angkot pada umumnya, hanya saja di bagian belakang diisi dengan buku-buku yang bisa dibaca gratis oleh penumpangnya.
Ini merupakan sebuah gerakan literasi sosial yang diprakarsai oleh sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam komunitas Mahasiswa Penggerak (MAGER), Malang. Angkot dipilih, tulis Himam Miladi, karena merupakan transportasi umum kelas menengah kebawah, juga sekaligus ruang publik yang terus bergerak. Hanya saja kendala yang dihadapi sekarang ini di sana: kini mereka mesti bersaing berebut penumpang dengan transportasi daring yang tengah berkembang pesat.
Anomali Pembaca di Indonesia
Sudah 2 tahun belakangan, Indonesia dijadikan tempat penyelenggaraan pameran buku Big Bad Wolf di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD City. Ada 3 kata yang paling tidak bisa menggambarkan meriahnya pameran buku tersebut: murah, ramai dan kualitas.
Sebagai generasi yang gampang terpengaruh oleh keriuhan sosial media, Widha Karina akhirnya ikut penasaran dan tertarik karena update-an teman-temannya tentang Big Bad Wolf, 2016. Hal pertama yang didapati ketika mendapati pameran buku tersebut adalah memangnya orang Indonesia segitunya nyari buku? Segitunya suka buku dan mau membelanjakan banyak uang untuk buku? Widha Karina bangga, "ternyata orang Indonesia beringas juga berburu buku!" tulisnya.
Hal serupa jadi perhatian Bambang Trim pada acara Kompas-Gramedia Fair (KGF) 2015 di JCC, Jakarta. Ia melihat, di kota meski daya beli orang-orangnya tinggi, apalagi mereka yang dicap kelas menengah, entah mengapa minat membelinya tidak terlalu kencang. Faktanya penjualan buku di toko-toko buku mulai menurun.
Ajang seperti KGF yang mendiskon habis buku-buku bagus kadang membuat kalap mereka yang punya waktu sekaligus punya uang di kota. Minat mereka dibangkitkan dengan tebaran buku-buku berharga murah.
"Beberapa kutu buku memang memaklumi seni berburu buku di arena-arena pameran atau pesta diskon semacam KGF," tulisnya.
Andai buku bisa diregulasi dan dipantau sirkulasinya, rasa-rasanya kutipan dari Mochtar Lubis ini ada benarnya: Buku itu senjata yang kukuh dan berdaya hebat untuk melakukan serangan maupun pertahanan terhadap perubahan sosial, termasuk perubahan dalam nilai-nilai manusia dan kemasyarakatan.
(HAY)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H