Sayangnya, selalu ada 'pedagang gelap' yang mencoba mencari keuntungan dari setiap Perda yang diberlakukan.
"Di Manokwari, Papua Barat, misalnya, Perda Antimiras membuat pengusaha hotel kalang kabut menyediakan bir untuk tamu-tamunya. "Duh, Pak, saya bingung beli bir. Kalau pun ada harganya selangit," kata seorang pemilik hotel di sana di tahun 2000-an ketika daerah itu menjalankan Perda Antimiras," tulis Syaiful Harahap.
Berdasarkan laporan yang dibuat penelitian kebijakan publik, perederan miras oplosan terjadi karena produk miras legal dengan standar baku terjamin tak terjangkau oleh konsumen di Indonesia.
Dan itu menjadi paradoks karena ada sebagian masyarakat bahwa meminum minuman beralkohol adalah tradisi, seperti yang diungkap Antropolog Universitas Indonesia, Iwan Meulia Pirous.
Kemudian, pemerintah selalu mengambil jalan pintas: menghilangkan miras atau menjauhkan miras tidak akan pernah berhasil karena di masyarakat ada warga yang memang membutuhkan minuman, makanan dan buah-buahan yang mengadung alkohol.
Efek yang cepat dan mudah ditebak tentu saja seperti pengoplosan minuman beralkohol ini. Orang-orang mencari alternatif dari apa yang dilarang. Lalu ada (lagi) korban. Lalu razia besar-besaran oleh petugas. Selalu begitu siklusnya: tak berujung. Seperti sajak yang ditulis Wislawa Szymborska: seseorang pernah selalu ada di sana, // selalu ada di sini, kemudian // tiba-tiba lenyap // dan terus menerus lenyap.
Kita tidak bisa menghakimi ketidaktahuan. Masih ada banyak masyarakat diingatkan tentang hal-hal apa saja yang ditimbulkan dari minuman oplosan. Tidak perlu disesali, apalagi menyalahkan korban --terutama  yang sudah meninggal.
Mungkin kita bisa mengoplos minuman, tapi tidak dengan nyawa yang hilang karenanya. (hay)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H